[41] Kabur

220 50 5
                                    

Happy Reading

Jika membaca cerita ini, kalian hanya harus mempercayai kata-kata yang ini.

Haidan berbohong.

Dua kata, namun mampu membuat semua orang terkejut.

Haidan berbohong jika dirinya tidak lelah, ia berbohong jika dirinya tidak sakit, ia berbohong ketika berkata baik-baik saja.

Semua orang tau jika dirinya mempunyai topeng tebal yang tidak mungkin bisa ditembus oleh orang banyak.

Namun, ada dua orang yang sudah melihat dengan jelas wajah Haidan ketika topeng tersebut dibuka.

Wajah yang menampilkan wajah sendu, air mata, darah yang keluar dari hidungnya dan senyuman yang mulai pudar.

Dia Janu dan Farhan, mereka sudah sangat mengerti dan melihat bagaimana lelahnya Haidan saat ini.

Dua lelaki itu yang paling mengerti keadaan hati Haidan saat ini.

Mengetahui segala keluhan yang keluar dari bibirnya.

Dan mengetahui tentang penyakitnya.

Farhan sebenarnya enggan melepas Haidan begitu saja kemarin, masih ingin menemani lelaki yang berstatus sahabatnya menjalani hari sakitnya.

Seperti saat ini. Haidan ijin untuk pergi jalan-jalan setelah mengantar kepergian orang yang datang kepadanya. Hanya sendiri, tidak ingin satu orang pun untuk ikut.

Haidan memilih pantai yang direkomendasikan oleh Janu, sekaligus tempat yang selalu ia kunjungi saat dirinya merasa dititik terendahnya.

Mungkin, saat ini bisa dikatakan jika Haidan sedang lelah dengan semunya, Haidan sedang sakit dan menyerah sejenak dengan perjuangannya saat ini.

Walaupun ia tau, waktunya tidak lama lagi, sebisa mungkin ia akan membuat semua orang bahagia sebelum kepergiannya.

Bagaimana cara Haidan menjelaskan segala rasa sakit dan pasrahnya saat ini juga? Semua orang sudah mengetahui takdirnya.

Dan itu hal yang sangat dibenci oleh Haidan.

Membiarkan ombak menabrak halus kakinya yang ia lakukan sekarang, menatap langit mendung dengan hawa dingin di pantai yang sangat sepi membuat hati gelisah Haidan sedikit tenang.

Musim hujan belum selesai. Haidan tidak pernah melupakan perjuangannya ditemani rintik hujan setiap hari.

Ia mengadahkan kepala, menikmati angin yang menerpa wajahnya pelan.

"Bunda..." panggilnya lirih.

"Kenapa Haidan harus dilahirkan?"

"Haidan hanya buat ayah tambah sedih,"

"Haidan cuma sumber kesedihan buat ayah,"

"Kalau aja dulu bunda lebih mentingin diri sendiri dan merelakan Haidan, semua nggak bakal kayak gini,"

"Haidan bakal bilang terimakasih kalau udah buat ayah senyum lagi,"

"Maaf..."

Biarkan saja, biarkan Haidan menyerah saat ini saja. Ia lelah, ia lelah menerima takdir yang sangat membuatnya terpaksa menjadi sosok baik-baik saja.

Lelaki itu mundur selangkah saat merasakan ombak yang semakin kencang menghantam kakinya. Menjauhi kejadian yang tidak mungkin terjadi.

eja [ ✓ ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang