Selepas turun dari mobil, gus Azka memanggil kang Rouf untuk dimintai tolong mengangkat koper dan tasku ke ndalem. Gus Azka dan Kang Rouf memilih pintu samping karena aksesnya paling gampang untuk menuju kamarku dan gus Azka di lantai 2.

Jadi aku memilih untuk masuk lewat piintu depan.

"As'salamu'alaiii....kuummm" salam ku hamper saja tidak utuh.

Nafasku tercekat dan hamper kujatuhkan tas oleh-oleh ini.

Bagaimana mungkin bisa? How can?

"Wa'alaikumsalam, nduk...sudah pulang?" jawab Umi dengan penuh senyuman.

Umiiiii....Help Me

Kenapa dari sekian juta waktu yang tercipta, kedatanganya tidak tepat pada waktunya atau mungkin inilah waktunya.

"Piye? Lah kok yoh ngeluyur wae mantumu iki jah. Gak yoh wayah surup kui ngaji meneng ndek omah. Lah kok iki kawitan muleh"

See

Kalian mungkin bisa menebak siapa yang berbicara didepanku saat ini.

Ya Allah, cobaan apalagi ini.

"Bude.." sapaku penuh dengan keramahan yang dipaksakan keadaan. Kuhampiri Wanita paruh baya itu dengan menunduk. Lalu kucium tangan beliau.

Tak lupa menghampiri Umi Khadijah ku ini.

"duduk sini nduk, mas mu dimana?" tanya beliau.

"Niku mi, sama kang Rouf lewat pintu samping soalnya bawa tas Linka" jelas ku pelan mungkin setengah berbisik

Dan aku sama sekali tak berani mengangkatkan wajahku pada kakak perempuan mertuaku ini. Sekali noleh, mungkin hanya tatapan tajam yang akan kuterima.

"Yasudah, kamu masuk nduk. Temenin mas mu nduk diatas" jawab Umi dengan senyuman.

Namun seolah menegerti akan situasi ini karena aku tak kunjung bernjak, beliau tersenyum lagi dan menganggukkan kepala serasa itu pertanda agar aku terbebas dari bude.

"inggih pun mi, Linka keatas nggeh mi. Monggo budhe" pamit ku.

Saat akan meninggalkan ruang tamu ndalem ini, aku mendengar budhe sayup-sayup membicarakanku. Membicarakan kalau saja seandainya gus Azka menikah dengan Wanita lain. Tidak sampai Umi mendapat emnantu yang tidak punya tata krama.

Ya Allah....

Kenapa jadi seperti ini.

Benci banget jadi selemah ini

Benci banget tidak bisa mengatakan apa yang dihati

Benci banget harus menangis dalam hati

Kulangkahkan kaki ku menuju kamar yang berada dilantai 2. Kulihat gus Azka baru saja keluar dari pintu kayu berwarna hitam itu.

"loh, baru saja mas mau nyusulin kamu kebawah yank" sambutnya.

Aku pun mencoba tersenyum dihadapan pria ini. Pria yang dalam 2 minggu ini selalu berusaha memberikanku keadaan yang baik "Linka kedalam dulu yah mas, mau beres-beres sambil sebentar lagi kan maghrib"

Suamiku itu, menghampiriku lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke kamar "yasudah mas bantuin kalau gitu"

Sebenernya, mendengarnya mengatakan itu membuatku semakin terjebak dalam situasi kondisi hati yang semakin berantakan.

Air yang menggenang dipelupuk mat aini ingin rasanya mengucur deras. Tak dapat dibendung lagi, kini ia menjatuhkan dirinya. Hanya sebentar, karena dengan sigap kutundukkan kepala sembari mengusapnya dengan cepat.

Tidak boleh, suamiku tidak boleh melihat aku menangis karena hal sereceh ini.

Selepas senja pergi, ada maghrib yang siap menanti.

Menanti untuk ditunaikan sebanyak 3 rakaat.

Aku memang masih memiliki kebimbangan hati

Tapi aku mencoba untuk menjadi pribadi yang taat.

Gus Azka selalu membagi waktunya untuk menjadi imam sholat di kamar dan di masjid pesantren. Sudah menjadi kebiasaan, untuk sholat maghrib akan ditunaikan di kamar Karena selepas maghrib, biasanya gus Azka dan aku akan tadarus sebentar.

"Yank, kebawa yuk. Lapar nih" ajak gus Azka.

Mendengar gus Azka mengatakan lapar, aku jadi teringat sebongka berlian yang tadi sore kutunda untuk menyantapnya.

"Linka makan batagor aja nggih" senyum ku mengembang

"iya nanti setelah makan nasi nggih. Kan daritadi belum makan"

Oke teman-teman, mari siapkan kelapangan hati menghadapi budhe nanti.

Sebelum kita makan nasi, mari kita makan hati.

--

Thanks to all pihak yang sudah membaca cerita ini

sampai ketemu di part selanjutnya yah. 


with love, 

menulistulus

(Calon) Suami PilihanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora