Tidak sedingin es

Începe de la început
                                    

"Apa? Lo udah makan? Nanti pingsan lagi"Tanya dia dengan senyuman manis itu.

Rena melirik Riyan jutek. "Belum sih, lagian ngapain orang jutek sama dingin kayak lo nanyain gue makan? Apa perdulinya lo?"

"Gue gak perduli. Lo jangan ke-ge-er-an dulu."

Rena hanya membiarkan dia saja. "Oh gitu"

"Nih makan. Kali aja membantu"kata Riyan yang menyerahkan bekalnya kepada Rena.

"Gue? Lo nanti gimana?"

"Udah itu mah gampang"Kata Riyan yang meninggalkan Rena.

Rena menyadari kalau Riyan tidak begitu dingin seperti yang dikenal oleh teman-teman nya. Riyan tidak seangkuh yang ia kira sebelumnya. Lalu apakah itu sisi lain dari Riyan?
Upacara sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Kali ini Rena berada di barisan teman sekelasnya. Disampinnya berdirilah Deas, sahabatnya yang sedari tadi mengeluh karena tidak selesai juga.

Kadang Rena merasa senang jika setiap hari senin. Setidaknya ia bisa memandangi Riyan lebih lama.
Barisan anggota PMR itu terletak disamping masing-masing kelas.

Tidak hanya Rena, sepertinya adik kelas memperhatikan Riyan juga. Untuk seorang wanita munafik memang jika tidak jatuh hati kepada Riyan.

Hingga menjadi kekasih seorang Riyan adalah hal yang paling Indah.
Riyan sekilas melirik Rena yang belum juga tumbang. Biasanya ia akan tumbang di saat seperti ini. Riyan sudah menduga sebelumnya, namun Rena belum juga terjatuh.
Tidak sengaja senyuman menghiasi wajah dingin Riyan.

Setidaknya bekal itu bermanfaat.

***

Revan melangkahkan dengan mantap. Dengan kemana berwarna biru muda dengan membawa beberapa buku yang bertuliskan matematika itu ia menjadi pusat perhatian. Revan memang alumni dari sekolah ini, prestasinya pernah ia ukir di sekolah ini. Setidaknya ia berharap kenangan di sekolah ini sudah pudar. Masalah sepele yang membuatnya harus angkat kaki meninggalkan sekolah ini dulu.
Masih teringat dengan jelas Revan berubah menjadi murid yang dijauhi. Tidak di perlakukan dengan indah. Sebenarnya ia ingin melupakan kejadian itu. Coba kau banyangkan. Selama bertahun-tahun ia merasa bersalah dengan kejadian itu. Bukan membunuh, tetapi tidak sengaja membunuh sahabatnya sendiri. Revan tidak merasa bangga memenangkan pertandingan terakhir kalinya itu.

Tanpa sadar, ia membunuh sahabatnya. Tidak ada kebanggaan mendapatkan mendali emas jika harus kehilangan sahabatnya dan dijauhi oleh semua orang. Hidupnya memang rumit.

Dengan menghela napas Revan menyusuri lorong sekolah itu. Dilihatnya murid-murid belum memasuki kelasnya. Tawa serta obrolan mereka terhenti saat ia melintas di depan nya.

"Siapa tuh? Guru baru?.. " desis seorang wanita yang memperhatikan Revan.

Siswa di sebelahnya terlihat seperti berpikir. "Kayaknya pengganti Pak Anton deh. Soalnya gue denger kemarin ada yang ngomongin soal guru baru."

Revan melirik keduanya dengan senyum. Hingga terdengar suara desas-desis yang terdengar oleh Revan. Ingin sekali dia tertawa melihat ekspresi anak SMA jaman sekarang yang terlalu genit seperti itu.

"Ya Tuhan, gue disenyumin sama guru ganteng!"kata Gadis yang seketika membuat orang di sekitarnya tertawa.

Revan Puteradito.

Lelaki berpenampilan rapi ini memang pantas jika dikagumi oleh semua orang. Diusia yang masih berumur 21 tahun ia sudah menyelesaikan kuliahnya dengan nilai hampir sempurna. Udah ganteng, pinter, terus ramah. Siapa yang bisa mengelaknya?

"Revan, senang melihat kamu kembali ke sekolah ini. Mang Diman kangen sama kamu loh! Oh iya nak Revan, saya dengar adik tiri Revan sekolah disini juga ya?"sambut seorang yang dikenalnya dulu adalah seorang caraka di sekolah ini.

ANGLOCITA  [selesai]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum