04 - Thinker

694 127 5
                                    

"Seluruh dunia mungkin boleh saja menghakimimu, tapi percayalah. Di tengah situasi itu, akan ada teman sejati yang selalu siap melindungi."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

Oke, kita jeda dulu kegiatan kita
di komplek jurusan Magician. Untuk sekarang, mari beralih ke para Thinker berkacamata tebal yang kaya akan ilmu pengetahuan.

Kita semua tentu penasaran dengan apa yang mereka lakukan. Apakah akan ada pengarahan-pengarahan? Ataukah mereka langsung memulai pelajaran? Entahlah.

Ah, ternyata di sini sangat membosankan. Mereka benar-benar sekumpulan jenius haus ilmu. Bayangkan saja, selesai upacara super melelahkan tadi, bisa-bisanya seluruh siswa kelas Thinker malah melakukan sebuah penelitian.

Bukan penelitian besar sih, tapi tetap saja menguras energi dan pikiran. Terlihat para siswa baru telah berbaur dengan senior mereka, berkumpul dalam banyak kelompok kecil untuk penelitian masing-masing.

Sebentar, mari kita cari Aldi untuk mengulik kegiatannya. Astaga ... mengapa semua manusia di sini berpenampilan sama sih?! Jas laboratorium putih yang membungkus tubuh, sarung tangan karet berwarna hijau, dan kacamata baca super tebal dengan frame hitam.

Benar-benar seragam!

"Sheza, bisa tolong jagain ini? Gue mau ke lab utama sebentar ambil buku laporan."

"Bisa, Kak."

Itu dia!

Gila memang. Secerdas apa anak ini sampai-sampai dia sekelompok dengan senior? Bayangkan, di saat siswa baru lainnya sekelompok dengan sesama siswa baru, atau beberapa yang lain berisi anggota campuran dari kelas 10 sampai 12, pemuda ini justru sekelompok dengan empat pemuda berkacamata tebal dari kelas 12.

Aldi tampak serius mengamati marmut imut yang tengah berlari dalam silinder plastik. Silinder itu terhubung pada generator listrik melalui rantai karet yang terpasang. Terlihat pula di ujung generator sebuah lampu LED yang menyala berkedip.

Tangannya sesekali meraih alat tulis, mencatat hasil pengamatannya di buku catatan yang memang selalu di bawa oleh pemuda itu. Matanya tak lepas dari bola bulu gempal dan lampu LED putih di hadapannya.

Brak!

Gawat.

Kit percobaan milik kelompok Aldi rusak gara-gara mejanya ditabrak oleh seorang gadis sesama siswa baru. Marmut Aldi terlepas dari silindernya, membuat ruangan praktikum ini riuh seketika.

Aldi bergerak secepat yang dia bisa, berusaha menangkap makhluk super gesit itu. Marmut itu berlari tak tentu arah, mengacaukan konsentrasi kelompok lainnya. Satu persatu kit yang ada ikut berantakan. Hewan-hewan percobaan kelompok lain ikut terlepas, semakain mengacaukan keadaan.

Kacau sudah kegiatan hari ini. Setelah aksi kejar-kejaran nyaris selama satu jam penuh, akhirnya marmut berbulu coklat terang itu berhasil dimasukkan kembali ke dalam kandangnya.

"M-maaf, a-aku benar-benar tidak sengaja."

Gadis penyebab kekacauan itu tampak gugup. Tubuhnya bergetar dengan wajah yang menunduk dalam. Tatapan mengintimidasi dia dapatkan dari seluruh anggota jurusan, memperburuk keadaan.

Aldi yang melihatnya hanya tersenyum ringan. Tidak ada rasa marah maupun kesal pada dirinya. Sebaliknya, dia merasa lega karena gadis itu tampak tak terluka walau tadi sempat menabrak mejanya cukup keras.

"Tak apa, bukan masalah besar. Oh ya, kau tidak terluka, bukan? Sepertinya tadi kau terbentur cukup keras," tanya Aldi balik.

Kepala si gadis terangkat perlahan, mengintip raut penuh peluh Aldi lewat ekor matanya. Melihat senyum itu, dia mulai berani mengangkat wajah, membuka mulut untuk mejawab pertanyaan yang ada.

"Aku tak ap—,"

"Frida Sintya Azhari, Zahrawi Aldiora Sheza, bisa jelaskan?"

Bagus sekali.

Belum selesai membereskan kekacauan yang ada, kedua siswa baru itu sudah harus berurusan dengan Sir Umar, wakil kepala sekolah jurusan Thinker yang terkenal super perfeksionis.

Rasa-rasanya, Frida sudah ingin lenyap detik ini juga. Oh ayolah, belum ada seminggu diterima, dirinya sudah berurusan dengan wakil kepala sekolah? Yang benar saja!

"Ma—,"

"Mohon maaf, atas kekacauan yang saya perbuat, Pak. Sekrup penyangga dari silinder milik marmut saya kendor, sehingga tadi terlepas dan berakhir marmutnya kabur. Sekali lagi, saya mohon maaf," sela Aldi menutupi kesalahan Frida.

Pria tua dengan rambut penuh uban itu menghela napas panjang. Sorot matanya sedikit melunak, walau tidak menghilangkan aura intimidasi yang ada.

"Zahrawi Aldiora Sheza, bukankah kau merupakan siswa beasiswa prestasi? Apa seperti ini kemampuan seorang pemenang kompetisi ilmiah LIPI selama tiga tahun berturut-turut?"

"Sekali lagi, saya mohon maaf, Pak. Saya masih belum terbiasa dengan tim saya yang sekarang mengingat selama tiga tahun tersebut saya selalu berlomba bersama tim yang sama."

Dengusan kesal terdengar. Pria tua itu tidak menjawab lagi. Sebagai gantinya, Umar menyuruh kedua remaja itu untuk membereskan kekacauan selagi siswa lainnya pergi makan siang.

Dengan hati senang, Aldi mulai merapikan kekacauan yang ada. Sementara itu, Frida ikut membantu dengan rasa bersalah yang semakin melekat erat.

Keheningan menyelimuti ruangan yang luasnya setara dengan luas ruang makan panti asuhan Aldi. Keduanya bekerja dalam diam, masih canggung satu sama lain.

Tok ... tok ... tok ....

Lama bercengkrama dengan keheningan, keduanya sampai terlonjak kaget hanya karena mendengar suara ketukan ringan pada pintu.

Mereka saling tatap sebelum kemudian terkekeh pelan, menertawakan kebodohan mereka.

"Lo istirahat aja, biar gue yang buka pintunya."

Kaki Aldi segera melangkah, membukakan pintu bagi si pengetuk. Matanya memicing, dahinya mengerut dalam, nyaris membentuk sebuah perempatan saking dalamnya.

"Abi? Ngapain di sini? Gak makan siang?"

Di balik pintu berdiri seorang pemuda bertubuh atletis dengan rambut agak pirang yang menjadi penyebab berubahnya raut wajah Aldi. Sosok yang dipanggil Abi oleh Aldi itu berdeham singkat mendapat pertanyaan dari kawannya.

"Ehm, gue cuma gak mau lihat sohib gue berduaan sama cewek cakep. Sebagai seorang gantle crocodile, gue gak mau dong mangsa utama gue disebet cogan cerdas macam lo. Bisa ludes peluang gue," jelas Abi dengan ngawurnya.

Pletak!

"Kalau punya mulut itu difilter, be*o! Nyesel gue jadi temen se-room lo," balas Aldi setelah memberikan jitakan keras di dahi mulus kawannya.

"Niatan gue baik lho mau menghindarkan kawan alim gue ini dari dosa berduaan sama lawan jenisnya. Mas—,"

"Gak usah sok alim, lo. Dasar buaya!"

Yang dimarahi hanya cengengesan tidak jelas dengan raut yang sangat pas untuk dipukul. Kesal, Aldi mengacuhkan kawannya sebelum jemarinya bergerak otomatis memberikan jitakan susulan.

Lebih baik dia melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya yang sempat tertunda daripada meladeni titisan setan di hadapannya.

Mendapat penolakan telak ternyata tidak membuat Abi menyerah. Kakinya melangkah cepat mendekati Frida, berniat melancarkan aksinya.

"Halo, Cantik. Itu pasti berat ya? Mau aku bantu?" tawarnya sok keren.

Frida tidak menghiraukannya, membuat Abi seakan berbicara dengan udara. Tidak ambil pusing, pemuda dengan nama lengkap Ibnu Abisaka itu mengambil sapu dan mulai ikut berkemas.

1009 kata
06 Sep 2021

==============<⟨•⟩>==============

School: Magician [Tamat]Where stories live. Discover now