"Ngapain lo di sini? Panas tahu," ujar Alvan dengan mengambil tempat duduk di samping istrinya.

"Omongan orang lebih panas," balas Ririn tanpa menoleh ke arah Alvan.

Alvan menghela napasnya, kemudian membalikkan tubuh istrinya itu agar berhadapan dengannya. "Jangan dengerin apa pun ucapan mereka, lo udah tahu kalau semua itu nggak bener."

"Gue nggak terima disebut yang nggak-nggak sama mereka, Alvan. Gue udah berusaha enggak peduli, tapi gue nggak bisa." Untuk yang kedua kalinya Ririn menangis di depan suaminya.

Ririn benci ketika ia lemah ada orang lain yang tahu, ia benci ketika dia menangis ada orang lain yang tahu. Apalagi ini Alvan, laki-laki asing yang baru ia kenal kemarin. Sialnya, Alvan adalah suaminya.

"Gue tahu nggak semudah itu, tapi tolong untuk jangan terlalu peduli soal itu."

Ririn menundukkan kepalanya, air matanya semakin turun dengan deras. "Gue ... Kenapa gue selalu jadi bahan omongan orang lain? Gue pikir dengan cara pindah ke sini, kehidupan sekolah gue akan lebih baik. Tapi, nyatanya sama aja."

Alvan menatap gadis itu dengan nanar, secara spontan saja tangannya bergerak membawa Ririn kedalam dekapannya. Bahkan ia bingung dengan dirinya sendiri yang melakukan pergerakan seperti itu. Entah kenapa, Alvan serasa ingin melindungi gadis itu. Tidak rela Ririn mengeluarkan air matanya, terlalu sakit Alvan rasakan melihat air mata Ririn.

"Udah, jangan nangis!"


~•>•~

"Yakin lo?" tanya Alvan sekali lagi kepada Ririn.

Gadis berambut sebahu itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Iya, gue yakin."

"Ya, udah. Jangan pula terlalu malam, nanti gue juga yang disalahin sama bunda," kata Alvan berpesan yang langsung diangguki oleh Ririn.

Gadis itu pun pergi menjauh dari Alvan yang masih berada di parkiran. Ririn pamit kepada suaminya untuk tidak pulang bersama karena dirinya ingin bertemu dengan teman semasa SMP.

Rasa penasaran Alvan yang tubuh secara tiba-tiba dengan nekat ia mengikuti Ririn secara diam-diam. Ia ingin tahu siapa teman yang Ririn maksud, apakah seorang laki-laki?

Alvan bersembunyi dibalik pohon, ia sengaja mengikuti Ririn tanpa menunggangi motor ninja kesayangannya. Bisa Alvan lihat jika Ririn menghampiri seorang laki-laki berpakaiannya serba hitam dipinggir jalan. Mereka berdua saling berpelukan, sepertinya Ririn sangat bahagia bertemu dengan laki-laki itu, terlihat senyuman yang tercetak jelas di wajah Ririn.

"Ck! Siapa, sih, cowok itu?"

Spontan Alvan memukul pohon yang menjadi tempat persembunyiannya. Ia kesal karena tidak bisa melihat wajah laki-laki itu lantaran memakai masker.

"Udah kek mau ke kuburan aja pake baju warna item, ganteng lo?" gerutunya kesal dengan netra yang masih setia menatap kedua anak manusia itu sampai mereka berdua pergi dari sana dengan menaiki motor milik si laki-laki berbaju hitam.

Sementara itu, Ririn sampai di sebuah kafe dengan laki-laki yang sudah menjadi teman dekatnya sewaktu SMP. Mereka masuk ke kafe dan mengambil duduk di paling pojok dekat jendela.

"Green tea vanilla smoothies, 'kan?" tanya laki-laki itu yang langsung dibalas anggukan oleh Ririn.

Pelayan pun dengan sigap menulis pesanan keduanya, lalu menyuruh mereka untuk menunggu beberapa menit.

"Udah lama nggak ketemu lo masih inget aja sama kesukaan gue," ujar Ririn seraya diikuti dengan kekehan kecil.

Laki-laki itu mengusap kepala Ririn dengan senyuman manis. "Pastinya dong, nggak mungkin gue lupain gitu aja."

[iii] [END] MAS SUAMIWhere stories live. Discover now