9| Red Illusion

179 30 3
                                    

Seorang berambut merah sedang menatap layar komputernya dengan senyum yang senantiasa terpantri di sudut bibirnya. Di depan matanya, angka-angka terpampang jelas, bukan hanya satu dua, namun hampir satu layar berisi angka. Pria bernama Riku itu hanya bisa tersenyum. Kode sudah menjadi makanan sehari-harinya.

"Jadi... Di tengah kota paling gemerlap, ada sebuah jalan menuju kesesatan. Dunia penuh warna menyimpan kebusukan. Satu tempat yang gelap di anggap tidak pantas, namun sebenarnya tempat gelaplah tempat yang benar," gumam Riku. Ia menuliskan apa yang ia temukan di notebook yang sedari tadi dipegangnya.

Riku mendesah lelah. "Aku paling malas jika mengurus teka-teki didalam teka-teki," gerutunya. Riku memajukan bibirnya, meletakkan pensil di sela bibir dan hidungnya. Mencoba tetap menahan pensil itu agar tidak jatuh.

Pupil matanya melihat ke atas dengan pipi yang sedikit ditiruskan agar pensil yang ia mainkan tidak jatuh. Tangannya terlipat di belakang tengkuknya, bersandar pada sandaran kursinya.

"Aku tidak ahli memecahkan teka-teki begini," tukasnya. Pensilnya jatuh. Riku memekik pelan, mengambil pensil dan memperhatikannya setiap bentuknya dengan terperinci.

Riku menghela napas. Ia kembali mengetik di atas keyboard dengan lincah. Kacamata yang membingkai mata Riku. Dengan usil ia meninggalkan pekerjaannya dan memilih mengawasi teman-temannya yang sedang melakukan misi. Riku lekas mengambil ear piece  miliknya dan memasangkannya.

"Aku hanya bisa mengawasi dari sini seperti biasa, ya," gumamnya.

Setelah memencet tombol enter, Riku menarik tangannya dan melipatnya di belakang tengkuk. Netranya menatap layar menampilkan video langsung dimana teman-temannya sedang beraksi.

"Menyadap lagi?"

Riku tersentak. Ia menoleh ke kanan-kiri. Begitu sadar, ia melihat sosok perempuan berambut biru tua yang sedang duduk di sebelahnya. Tubuhnya sedikit transparan. Ia sudah terbiasa dengan sosok itu. Riku menekan ear piece di telinganya.

"Saku? Kau membuatku kaget!"

Terdengar tawa renyah di seberang sana. Riku mempout bibirnya. "Tidak lucu, lho. Kenapa mengganggu tiba-tiba?" tanya Riku dengan kerutan samar melihat sosok perempuan yang tengah memperhatikannya dengan intens.

"Aku mengganggu? Bukannya Riku-nii yang mengganggu dengan menyadap kamera pengawas? Bagaimana jika saat ini sedang di sadap pihak musuh?"

Riku meringis mendengarnya. Ia berdehem, memutar otak agar bisa membalas ucapan gadis di seberang sana itu. "Lagi pula aku tidak ketahuan siapapun. Apa yang salah?" belanya.

"Menyebalkan sekali. Mou ii, aku mau bertanya. Apa Riku-nii sadar kalau sikap Tenn-nii akhir-akhir ini agak aneh?"

Riku mengingat-ingat. "Aku tidak bertemu Tenn-nii beberapa hari ini. Bahkan saat bekerja juga, biasanya kamu sering berpapasan di studio. Tapi beberapa hari ini tidak," tukasnya.

"Begitu ya? Baiklah."

"Memang kenapa?"

"Shun bilang Tenn-nii sedang banyak pikiran. Jadi aku bertanya pada Riku-nii. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Kalau ada apa-apa kabari aku!"

Riku hanya mengangguk paham. Ia kembali menatap layar. Merasa ada gesekan di lantai, Riku menoleh menatap sosok perempuan yang tengah mencakar lantai. Ia hanya bisa tersenyum pasrah. Demi membuat dorm aman tanpa gangguan dan tentu saja agar teman-temannya tidak ketakutan karena gangguan, Riku memilih diganggu sendirian.

"Kenapa?" tanya Riku.

Sosok itu menoleh, tampilannya seperti anak sekolah menengah kebanyakan, hanya kulitnya sangat pucat dan tubuhnya sedikit transparan. Sosok itu menggeleng dan menunjuk layar.

[Fanfiction] Futago no Ōji-sama Where stories live. Discover now