01

8.5K 615 149
                                    

"Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab: yakni, orang yang berpikir tapi tidak pernah bertindak, dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir." —W.A. Nance.

.

chapter 01: produk gagal

.

Ada dua kantin di SMA Dirgantara.

Kantin pertama, mereka menyebutnya kantin elite, adalah kantin yang menu makanannya bak restoran. Tidak sembarang siswa yang boleh makan di sini, hanya diperuntukkan bagi siswa-siswa kelas A. Di mana kelas itu hampir semua berisi pelajar-pelajar berprestasi andalan Dirgantara. Terlebih lagi, meskipun menu makanannya bak restoran, para siswa elite tidak perlu kerepotan membayarnya karena semua disajikan gratis.

Kantin kedua, alias kantin bawah. Pengecualian dari siswa kantin elite, maka berlaku di sini. Perbandingannya 180 derajat. Mulai dari menu makanannya, kantin bawah terlihat sama seperti kantin-kantin sekolah pada umumnya—jajanan gorengan, siomay, bakso, dan sebagainya yang belum tentu higienis. Jangan harap makanan di sini gratis, tidak sama sekali.

Dan dari kedua poin itu, Aleandra Fabian berada pada posisi kedua: kantin bawah.

“Lama-lama bosen juga anjir makan ini mulu tiap hari,” gerutu Galang, sambil meratapi piring siomaynya dengan tatapan layu.

“Ya mau gimana, kita aja kelas D, jauh banget harapannya bisa makan di kantin elite.”

“Menu makanan di sana gonta-ganti tiap hari, udah enak, gratis pula. Nikmat mana yang kaudustakan, wahai siswa elite?” Galang menghela napas frustrasi.

Ale juga sama mengeluhnya seperti Galang. Mereka memang baru setahun sekolah di sini—alias kelas 10—tapi perbedaan itu sudah sangat terasa. Tiga tahun akan terus sengsara jika tidak ada perubahan sama sekali.

SMA Dirgantara sudah tidak diragukan dalam prestasi siswa-siswanya. Hampir 99 persen siswa terjamin masuk universitas dan perusahaan terbaik. Bahkan banyak beasiswa berdatangan dari kampus ternama untuk segera meminang siswa andalan Dirgantara.

Itu terbukti bagaimana para orang tua yang kemudian menitipkan anak-anak mereka di sekolah ini. Rata-rata adalah pejabat tinggi, yang juga termasuk alumni Dirgantara dulunya. Tidak jarang juga dari mereka yang menjadi donatur, membuat sekolah ini semakin maju untuk melahirkan siswa-siswa terbaik lainnya.

Sayangnya, itu semua hanya berlaku bagi siswa dari 99 persen tadi.

Satu persennya adalah produk gagal.

“Ulangan akhir semester tinggal di depan mata. Kali ini kita bakal bener-bener tahu prestasi yang sebenarnya setelah dua semester terakhir,” Galang berujar lagi.

Ale menghela napasnya. “Penentuan kelas, ya....”

Ada beberapa sistem penentuan kelas di sekolah ini. Pertama ketika seleksi murid baru, siswa-siswa dengan nilai seleksinya di atas rata-rata maka dinyatakan masuk kelas elite—kelas A. Sisanya terbagi menjadi beberapa kelas bawahan.

Bagi siswa dengan nilai di bawah rata-rata, ia tidak akan terpilih menjadi bagian dari Dirgantara.

Posisi Ale dan Galang sekarang sebetulnya sudah baik. Meskipun mereka masuk kelas D, tapi setidaknya lebih baik daripada tidak lolos masuk seleksi sama sekali.

Tapi keduanya kembali terancam dengan sistem berikutnya.

“Dan siswa yang dapet nilai merah UAS bakal dikeluarin.” Ale menunduk, berharap ia bukan salah satunya.

AmbitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang