Bab. 7 Pindah Rumah

10.6K 832 4
                                    

Bab. 7
Pindah Rumah

***

Inaya mendesah kecewa saat mengetahui dirinya kedatangan tamu bulanan. Sebab, itu mengacaukan rencana yang sudah disusun rapi untuk malam yang tertunda. Dan sekarang, harus menunggu sampai minggu depan.

Waktu pun berjalan cepat sebenarnya jika saja, tidak ditunggu-tunggu. Lima hari kemudian, Aksa mengajak pindah lebih awal. Maka hari ini, benar-benar disibukkan dengan membawa semua barang-barang yang diperlukan. Sisanya, bisa kapan-kapan. 

"Kamu beresin saja pakaian. Buku-buku ini, biar aku sendiri yang beresin," kata Aksa saat Inaya bingung ingin membantu membereskan barang apa saja. 

Pakaian Aksa, tidak dibawa semua. Hanya satu koper besar. Satu kardus buku dan peralatan kerja yang biasa tertata rapi di meja. 

Erina dan Raka ikut membantu. Hari ini juga, rumah diadakan syukuran kecil-kecilan yang mengundang beberapa tetangga di sebelah rumah baru Aksa. Memberikan bingkisan kepada para satpam yang menjaga gerbang perumahan. 

Rumah ini sangat sederhana jika dibanding rumah Erina. Keseluruhan dicat putih bersih. Halaman depan, ada taman kecil yang belum ditanami bunga, sampingnya tempat parkir satu mobil. Di dalam, ada ruang tamu, satu kamar mandi, dapur, dan belakang untuk menjemur pakaian. Lantai atas, ada dua kamar ukuran sedang dengan kamar mandi dalam, lalu ada ruang yang diisi televisi dengan sofa kecil di depannya. 

Sorenya, Mama dan Raka masih membantu bersih-bersih dan mengatur barang-barang yang memang sengaja dibeli Mama untuk hiasan rumah. Inaya dan Aksa, membereskan kamar, juga menata pakaian. 

Sebelum Mama pulang, beliau sempat memberikan dua bungkus akar ginseng untuk Inaya. 

"Ini Mama sengaja pesan dari teman yang berlibur ke Korea. Kamu bisa seduh dengan air panas, lalu rutin diminum pas masa subur," kata Mama menjelaskan.

"Buat apa, Ma?" Inaya bertanya bingung.

"Biar cepat hamil."

Inaya terbatuk seketika. 

***

Malamnya, Aksa mengajak Inaya makan di luar. Ini yang sebenarnya Inaya kurang suka. Naik mobil, padahal jarak tujuan sangat dekat. Andai punya motor, kan lebih enak. Bisa meluk dari belakang. Inaya mengulum senyum membayangkan.

Aksa mengajak makan di warung lesehan saja setelah sebelumnya bertanya, "Kamu gak apa-apa kan, Dek, kalau aku ajak makan di warung lesehan?"

"Aku malah lebih suka makan di warung lesehan, Mas, daripada restoran." Inaya menjawab dengan senyum lebar. Bagaimana mungkin bisa tidak suka, sedangkan dirinya berasal dari desa.

Mereka duduk berdua dan memesan nasi, bebek penyet, lele penyet, dan dua gelas teh hangat. Aksa makan dengan lahapnya. Tak disangka, meski sekarang sudah jadi orang kaya, tapi masih tetap suka dengan makanan khas Indonesia. 

"Mas Aksa mau coba lelenya?" Inaya menyodorkan secuil lele di depan mulut Aksa. Reflek begitu saja. Mungkin terbiasa di rumah, saat makanan berbeda, maka akan saling tukar bahkan menyuapi.

Melihat Aksa yang terdiam dengan tatapan yang tak dimengerti, Inaya segera menarik tangan. "Maaf, Mas. Kebiasaan di rumah."

"Kenapa ditarik lagi?" Aksa menaikkan satu alisnya. Bertanya.

"Hm?" Inaya mendongak. Menatap tak paham.  Aksa memberi isyarat dengan tatapan pada tangan Inaya. Wanita itu tersenyum lalu kembali mencuil lele dan menambahkan sedikit nasi, kemudian menyuapkan pada Aksa.

Malam yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang