Bab. 3 Malam yang Kedua

15.2K 1K 3
                                    

Bab. 3
Malam Kedua

💗💗💗

Rumah sederhana itu masih sangat ramai. Banyak saudara atau kerabat jauh yang menginap, baru akan pulang sore nanti. Tetangga sebelah datang membantu membereskan rumah yang masih berantakan. 

Keluarga dan saudara Aksa, sudah pulang setelah makan siang. Tinggal Aksa yang masih di sini, entah sampai kapan. Sekarang, dia duduk di teras depan bersama Sultan dan para tamu yang masih banyak berdatangan. Mbah Kakung, justru setelah acara selesai kemarin itu, langsung pulang. Sepertinya masih sedikit kecewa dengan pernikahan cucunya. 

Inaya sendiri, sibuk membereskan kamar. Membuka satu persatu kado yang bertumpukan. Rasanya, menyenangkan sekali. Sangat jarang ia menerima hadiah atau kado. Bahkan, saat ulang tahun pun hampir tidak pernah mendapatkan.

Itu karena Inaya hanyalah gadis desa biasa. Bapak dan Ibu hanya seorang petani. Rumah pun sangat sederhana. Ia sendiri, bekerja di minimarket daerah pasar. Masih sulit dipercaya kalau ternyata jodohnya adalah lelaki kaya dari kota. 

Dari awal, Inaya tidak terlalu suka dengan anak orang kaya. Bukan karena tidak percaya diri bersanding dengan mereka, tapi lebih karena takut jika dibedakan oleh keluarga atau saudaranya. 

Karena pada kenyataannya, perbedaan kasta selalu menjadi salah satu permasalahan dalam rumah tangga. 

Namun, berbeda dengan keluarga Aksa. Meski berasal dari kota, mereka sama sekali tidak risih tidur dan makan bersama dengan keluarga Inaya. 

Kedua mata bulat Inaya membelalak ketika membuka kado dari sahabatnya. Lingerie merah terang, dilebarkan di hadapan. Sungguh di luar dugaan, kalau sahabat yang selalu menasihati tentang kebaikan, memberikan kado pakaian menerawang. 

"Cantik."

Wanita dengan pakaian serba panjang itu terlonjak kaget dan reflek menyembunyikan lingerie di balik kado lainnya. 

"Mas Aksa! Kok gak ketuk pintu dulu?" sungutnya, meski tampak sekali wajah yang berubah gugup dan malu.

Aksa terkekeh sambil menutup pintu. "Maaf. Kebiasaan di rumah. Jadi, mengira kamar sendiri."

"Aku kira kamu tidur." Aksa berjalan mendekat dan berjongkok di samping Inaya. Tangannya melihat-lihat tumpukan kado.

"Nggak, Mas. Penasaran sama semua isi kado ini. Mas Aksa sendiri, mau ngapain?" Inaya menggigit bibir, urung melanjutkan ucapan. Pantaskah bertanya, mau apa dia masuk ke kamar? Toh, kamar ini, sekarang miliknya juga.

"Tamunya sudah pada pulang. Bapak juga menyuruhku istirahat di kamar."

Inaya hanya mengangguk-angguk. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya bisa merasakan debaran yang semakin kencang saja. Mencium aroma parfum di tubuh Aksa saja sudah membuat dadanya berdebar-debar.

Inaya Larasati, gadis yang sama sekali belum pernah pacaran. Bukan karena sangat paham agama. Ia hanya gadis biasa yang sedang mencoba memperbaiki diri. Keimanan pun hanya seujung kuku. Sangat tak seberapa. 

Ia hanya ingin menjaga kehormatan diri sebagai seorang wanita. Agar semua bisa dipersembahkan untuk pertama kalinya pada lelaki yang memang seharusnya mendapatkannya. Lelaki yang telah berani mengucap ijab qobul di hadapan orangtua dan berjanji pada Allah untuk bertanggung jawab atas dirinya. 

"Aku ngantuk banget, Dek. Aku tidur dulu, ya?" Aksa tersenyum simpul. Berdiri dan melangkah, setelah sebelumnya menepuk-nepuk pelan puncak kepala Inaya.

Gadis dengan rambut panjang dikuncir kuda itu mematung seketika. Hanya ditepuk-tepuk sekilas saja, rasanya seperti … kesetrum.

Ini juga yang menjadi alasannya, untuk tidak memberikan ruang lebih pada lelaki sebelumnya. Agar semua terasa berbeda. Bukankah lebih indah rasanya pacaran setelah menikah? Dan hari-hari pertama, dilalui dengan dada yang terus berdebar seperti masa-masa pendekatan. 

Malam yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang