Bab. 6 Kejadian di Rumah Sakit

11.2K 815 7
                                    

Bab. 6
Kejadian di Rumah Sakit

***

Hari demi hari, bagai roda yang terus berputar. Cepat sekali, membuat Inaya mulai terbiasa dengan kegiatannya bersama keluarga baru. Aksa yang sibuk bekerja. Raka sibuk kuliah dan keluyuran, hampir seharian tidak di rumah. Inaya yang selalu diajak Erina ke cabang-cabang butik lainnya. 

"Kamu harus belajar mengelola butik ini, Inaya. Siapa lagi yang akan meneruskan jika bukan istri anak Mama. Sedangkan anak-anak Mama sudah sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter."

Inaya tersenyum saat Erina mengatakan itu di mobil ketika perjalanan menuju butik di Jakarta Barat. Bukankah sangat menyenangkan, memiliki mertua yang sangat sayang. Jarang-jarang, bukan?

Setiap sore, Erina selalu mengajak Inaya memasak untuk makan malam. Memberikan resep-resep masakan kesukaan Aksa. Membuat kue, makanan ringan, atau masakan khas dari desa.

Inaya pun mulai terbiasa mencium tangan Aksa saat berangkat dan pulang kerja. Terbiasa dengan debar-debar di dada saat Aksa menepuk pelan puncak kepala. Terbiasa duduk berdua di ranjang dan mendengarkan cerita. 

Bukankah itu definisi dari kata cinta?

Ternyata mudah sekali membuat wanita jatuh cinta. Berikan saja dia ketulusan dan kenyamanan, maka cinta pun akan muncul dengan sendirinya. 

Apa itu artinya ... Inaya sudah siap untuk memulai malam-malam yang sempat tertunda? Entah. Tapi bagaimana cara memulainya. Sedangkan Aka, justru menunggunya mengatakan lebih dulu. Apa lelaki yang baru menikah semuanya begitu?

***

Seperti biasa, malam ini saat duduk berdua bersandar kepala ranjang, Aksa akan bercerita. Kali ini, ia memperlihatkan foto almarhum papanya saat menggendongnya yang masih berusia sembilan tahun. Lalu, ada juga foto saat kelulusan SMA. Di situ, terlihat jelas bahagia pada raut wajah keduanya. Sama-sama tertawa lepas. 

"Papa meninggal saat aku baru kuliah semester dua." Aksa memulai cerita. "Papa meninggal karena penyakit maag kronis. Waktu itu, kami habis-habisan soal uang untuk membayar biaya rumah sakit. Bahkan aku sempat tidak ingin meneruskan kuliah, agar uang bisa dipakai untuk pengobatan Papa."

Aksa menarik napas panjang. Sesak itu kembali menjalar ketika mengingat almarhum papanya. Inaya diam mendengarkan.

"Tapi Papa menginginkan aku sukses dalam sekolah juga pekerjaan. Aku harus tetap kuliah sampai mendapat gelar sebagai dokter. Itu yang diinginkan Papa. Semenjak itu, aku bersumpah bahwa aku akan terus belajar dan belajar, agar bisa menjadi yang terbaik di universitas tersebut. Namun, sayang … Papa pergi sebelum aku sempat memperlihatkan IPK-ku yang nyaris sempurna. Papa belum sempat melihatku mendapat gelar saat sarjana."

Aksa memejamkan mata. Kembali menarik napas panjang. Inaya terdiam seolah bisa merasakan betapa sesaknya mengenang kesakitan. Ditinggalkan oleh orang tersayang. 

"Satu lagi yang Papa inginkan sebelum kepergiannya. Papa meminta agar aku menikahi anak dari sahabatnya. Sahabat kecil di desanya." Aksa menyeringai tipis.

"Aku?" sahut Inaya. Aksa mengangguk lemah. "Kenapa Mas Aksa mau? Padahal, Mas Aksa sama sekali belum pernah bertemu denganku. Sama sekali gak tahu bagaimana rupaku. Sama sekali gak tahu bagaimana baik dan buruknya aku."

"Bagiku, Papa adalah segalanya. Sosok lelaki yang luar biasa. Berjuang mati-matian menghidupi keluarganya. Rela bekerja seharian sampai larut malam agar anaknya bisa sekolah. Bagaimana mungkin aku tega menolak keinginan terakhirnya? Tak peduli jika anak sahabat Papa itu ternyata tidak cantik, gemuk, pendek, atau hitam dan dekil misal. Tak peduli jika ternyata dia akhlaknya begitu buruk. Aku sudah bersumpah akan menikahinya."

Malam yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang