1

902 121 13
                                    

Seorang lelaki tampan terlihat sedang menuruni tangga dengan seragam sekolah lengkap di tubuhnya. Senyum manis yang terbit di bibir mungilnya perlahan menghilang, ketika melihat orang tua dan kedua adiknya sedang sarapan.

Entah mengapa, terkadang ketika melihat keluarganya berkumpul seperti itu, membuatnya merasa terkucilkan dan tersingkirkan.

Bagaimana tidak? Mereka selalu melakukan apa pun tanpa ada ia di antara mereka. Perlahan ia mendekat ke arah meja makan. Namun, kehadirannya tidak ditanggapi sedikit pun.

Terdengar helaan nafas pelan dari lelaki tersebut, lalu ia berpamitan kepada semuanya.

"Yah, Bun, Jen, Jaem. Aku pamit berangkat sekolah dulu, ya..."

Nama lelaki tersebut adalah Renjun.

Tanpa menunggu jawaban, Renjun langsung beranjak pergi. Karena ia tahu, mereka tidak ada menjawabnya.

Jangankan menjawab, untuk sekedar melirik ke arahnya saja mereka tidak ingin. Renjun terkekeh pelan, seakan mengejek kehidupannya sendiri.

"Sudah, tidak apa. Ayolah Renjun, tidak boleh bersedih. Ini masih pagi," ucapnya kepada diri sendiri.

Lalu Renjun pergi ke sekolah dengan menaiki bus, Setelah kakaknya meninggal ia selalu berangkat sekolah sendiri dengan menaiki bus.

Karena orang tuanya tidak membiarkannya untuk memiliki kendaraan sendiri, tetapi tidak dengan kedua adiknya. Mereka berangkat menggunakan motonya sendiri, motor yang di belikan oleh sang ayah. Tanpa sadar ia sudah sampai di depan sekolahnya.

Renjun menginjakan kaki ke arah gerbang, dan pergi menuju kelasnya. Ketika di koridor sekolah, terdengar seseorang memanggil namanya.

"RENJUNNN!!!"

Lelaki yang merasa namanya dipanggil pun menoleh seraya mendengus pelan.

"Ini masih pagi, Echan. Tidak perlu berteriak seperti itu,"

"Hehe, iya maaf. Sudah sarapan?" Itulah kebiasaan Haechan, ia setiap pagi selalu menanyakan apakah Renjun sudah sarapan atau belum.

"Sudah."

Namun, sepertinya Tuhan tidak membiarkan Renjun untuk berbohong. Karena perutnya berkata lain, dengan mengeluarkan suara.

Tawa Haechan pecah, "Haha, kau itu tidak direstui untuk berbohong, Renjun."

Lalu Haechan menarik tangan Renjun menuju ke kelas mereka.

Terlihat Haechan sedang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, dan ternyata itu kotak bekal makanan.

"Nah, ini bekal untukmu. Tadi mama menitipkan ini," ucapnya seraya menyerahkan kotak bekal itu.

"Wah, mama memang yang terbaik."

"Halah. Tadi aja sok-sokan bilang udah sarapan," dengus Haechan. Namun, hanya di balas senyum manis oleh Renjun.

"Ya udah dimakan dulu aja, bel masuk masih 15 menit lagi," tanpa menjawab, Renjun langsung memakan bekal dari mamanya Haechan.

Ia sering berkunjung ke rumah Haechan, bahkan tak jarang pula Renjun menginap di sana. Dan keluarga Haechan sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Justru mereka merasa senang, karena Renjun itu sudah dianggap seperti anak oleh kedua orang tua Haechan, bahkan mereka paham tentang kebiasaan-kebiasaan kecil Renjun.

Ketika semua orang terdekatnya memandang Renjun dengan tatapan benci, hanya keluarga Haechan lah yang menerimanya. Terkadang Renjun lebih merasa nyaman dengan keluarga Haechan dari pada keluarganya sendiri.

Anargya || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang