04. Menggemparkan 1 pesantren

15.9K 1.1K 20
                                    

"Insya Allah Kiyai." Jawaban Fadira, yang membuat senyuman kecil terukir di bibir indah umi Aisyah.

"Sekarang gantian Fatih, apakah kamu bersedia menjadi calon imam dari nak Fadira?" Tanya Kiyai Sholeh.

"Bismillahirrahmanirrahim, Insya Allah saya siap, meskipun untuk saat ini saya belum mencintainya. Tapi kedepannya, saya akan belajar untuk bisa menyayangi dan mencintainya setulus hati saya." Jawaban Fatih, yang membuat debaran di jantung Fadira semakin memburu.

"Alhamdulillah, jika kalian berdua bersedia. Jadi sekarang kalian telah menerima perhodohan ini?" Tanya Kiyai Sholeh memastikan.

"Insya Allah" Jawab Fatih dan Fadira secara serempak.

*****

2 minggu telah berlalu dengan cepat.

Kini, para santri di pondok pesantren Al-Ghifar, telah kembali dari rumah masing-masing, dan telah kembali melakukan kegiatan di pondok pesantren.

Fadira tengah membaca Alquran di asramanya, sudah 3 malam berturut-turut ia melakukan istikharah, mengenai pejodohannya dengan Fatih. Mereka semua sepakat untuk tidak memberitahukan soal perjodohan ini kepada siapapun itu, dan terkesan merahasiakan nya, demi kebaikan Fadira yang masih di bawah umur untuk menikah.

Rencananya, setelah umur Fadira menginjak 17 tahun, baru dirinya dan Fatih akan menikah. Namun tidak semudah itu, setelah menikah, Fadira akan tetap melanjutkan pendidikannya, begitu pula dengan Fatih. Mereka di izinkan untuk tinggal serumah, layaknya pasangan suami istri, namun mereka masih di larang bergubungan intim hingga umur Fadira mencapai usia dewasa.

"Fa." Panggil Jihan.

"Kamu udah denger kabar dari Kiki?" Tanya Jihan, yang kini telah duduk di sebelah Fadira dengan rambut yang basaha, akibat baru selesai mandi.

"Belum," Jawab Fadira sambil menutup mushaf Al-Qur'an nya.

"Dia udah lama banget tuh, gak balik balik ke pesantren, apa jangan-jangan dia udah pindah ya? Kan Kiki emang udah gak betah sekolah di pesantren!" Ucap Jihan.

Fadira hanya diam saja, sambil memikirkan sahabatnya. Sedih pasti, ketika orang yang dekat dengan kita. Pergi, meninggalkan kita. "Tapi Kiki kok gak ngabarin sih kalo mau pindah!" Kesal Fadira.

"Hm, gak tau deh."

_Maghrib_

Setelah melakukan sholat dan dzikir, kini waktunya untuk mendengarkan ceramah singkat dari Ustadz, Ustazah, ataupun Kiyai Sholeh.

Fadira sedikit kurang enak badan. Tapi dia tetap memaksakan diri untuk pergi, dan mendengarkan ceramah. Yang membawakan ceramah kali ini, bukanlah Kiyai Sholeh, bukan pula Ustadz Syakib, ataupun Ustazah Syifa. Melainkan Fatih.

"Assalamualaikum." Suara berat terdengar, sebagian santri yang awalnya mengantuk, kini menjadi berbinar, dan rasa kantuk pun menghilang, setelah ke datangan Fatih.

"Waalaikumssalam," Jawab para santri dengan kompak.

Fatih, duduk di kursi, tempat biasanya Ustadz ataupun Ustazah duduk, ia masih belum berani dan tidak akan pernah berani, menduduki kursi Ayahnya. Matanya Fokus pada kitab fikih yang di pegang nya. Ia masih belum berani, melihat ke arah yang bukan mahramnya.

"Baru calon, dan belum sah." Pikir Fatih mengenai Fadira.

Fadira tak bisa fokus mendengarkan ceramah yang di bawakan oleh Fatih. Kepalanya berdenyut sakit, namun ia masih bisa menahannya. Jihan menyenggol bahu Fadira, menyadari perubahan ekspresi pada sepupunya itu.

"Fa, kamu gak papa kan?" Tanya Jihan memastikan, yang hanya di balas anggukan oleh Fadira.

Fatih, sibuk menjelaskan. Ia hanya Fokus, pada materi ceramah yang ia bawakan kali ini. Fatih memang terkesan cuek, namun sejujurnya lelaki itu tidak secuek itu. Ia seperti itu hanya karena menjaga jarak dari yang bukan mahramnya.

Kepala Fadira terasa semakin berdenyut sakit. Gadis itu berharap, agar Fatih segera menyudahi Ceramahnya. Memang kegiatan pesantren, ceramah singkat setelah selesai sholat Maghrib.

Lalu di sambung dengan sholat Isya, setelah itu. Masuk kelas masing-masing untuk belajar pelajaran seperti nahwu, sorof, fiqih, hadits, tajwid, dan mengaji Al-Qur'an, bagi yang belum terlalu bagus pengucapan hurunya, akan di kembalikan ke iqra, untuk di ajari lebih bagus lagi, agar pengucapan dan bacaanya bagus, saat membaca Al-Quran. Agar huruf-huruf tajwidnya (pengucapannya) menjadi benar.

Fadira, sudah tidak sanggup menahan rasa sakitnya. Pandangannya mengabur, dan semakin gelap. Setelah itu, ia tidak mengingat apa-apa lagi. Hanya satu, ia dapat merasakan tubunya yang limbung, sebelum akhirnya ia kehilangan kesadarannya.

                                 *****

"Tidak ada kalimat, semua akan indah pada waktunya, karena setiap hari pun, semuanya terlihat indah, jika kita pandai bersyukur!"
_Quotes_

Tubuh mungilnya, di gotong oleh beberapa santriwati, dan di bawa pulang ke asrama. Wajahnya sangat pucat dan berkeringat. Saat di periksa, oleh salah satu pengurus kesehatan, gadis itu mengalami demam, tinggi.

"Jihan, kalo nanti Fadira udah sadar, kamu kasi dia minum obat ini ya!" Perintah Chika, salah seorang pengurus kesehatan.

"Baik kak." Jihan mengambil obat itu dan meletakkannya di atas kasur Fadira. Kamar asrama yang di tempati oleh Jihan dan Fadira, memiliki kasur yang besar, sehingga muat untuk dua orang.

Jihan pergi untuk merebus air hangat, ia berencana ingin mengompres Fadira, agar demamnya dapat segera turun. Saat tiba di dapur Pesantren, ia sedikit kaget melihat Umi Aisyah, yang telah membawa rebusan air hangat dan kain untuk mengompres.

"Loh, Umi." Ucap Jihan kaget.

"Kamu mau rebus air buat ngompres Fadira kan?" Tanya Umi Aisyah.

"Iya Umi,' Jawab Jihan.

"Yaudah bawa ini aja, kebetulan umi udah rebus ini air hangat, kamu bantu kompresin ya."

"Baik Umi."

Jihan kembali ke asramanya, dia menempelkann kain yang telah di celupkan ke dalam air hangat itu, ke kepala Fadira. Terus mengulangi nya, sebanyak 3 kali.

                               *****

Perlahan mata indah itu terbuka, ia sedikit tersentak, bukannya berada di asrama, dirinya malah telah berada di rumah.

"Fa! Udah bangun." Ucap Nadira, ibu kandung Fadira, yang baru pulang dari luar kota.

"Ibu, kok aku ada di rumah? Dan ibu kapan nyampe nya?" Pertanyaan Fadira yang begitu bertubi-tubi.

"Kamu pingsan, udah 2 hari, gara-gara penyakit tipes kamu kambuh sayang." Ucap Nadira.

"Ibu di telfon, sama ibu pimpinan pondok pesantren kamu, katanya kamu pingsan gak sadar-sadar, jadinya ibu sama papah, di suruh ke sana buat jemput kamu pulang. Takutnya kamu kenapa napa." Nadira memegang jidat Fadira, untuk memastikan. Dan benar saja, demam gadis itu belum juga hilang.

"Ibu gorengin cacing ya?" Tanya Nadira.

"Gak mau buu!" Tolak Fadira mentah-mentah. Mengingat betapa gelinya dia dengan Cacing.

"Terus? Mau ibu bawa ke rumah sakit?"

"Enggak bu, istirahat aja bu, entar juga mendingan."

"Kalo gitu, ibu suapin makan ya?" Tawar Nadira lagi.

"Enggak bu, gak nabsu."

Nadira menghela nafas kasar, mengingat betapa seringnya, anak gadisnya itu di rawat di rumah sakit.

married with kiyai's son [Selesai]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ