The Fourth Petal is Red (C).

Start from the beginning
                                    

"Jadi benar ya, anak atasanmu itu terkait dengan kasus pembunuhan di apartemen J.K?" Adrius bahkan tidak berbasa-basi.

Althea kesulitan menyembunyikan keterkejutan dari wajahnya. Dia tak percaya pada betapa cepatnya Adrius mampu menyimpulkan segala hal secara tepat dan cepat. Lebih anehnya lagi, entah mengapa dirinya masih saja merasa heran pada kemampuannya berpikir Adrius Lien-Natta.

Lelaki itu memang sangat cerdas, itulah alasan mengapa Adrius berhasil meraih posisi setinggi sekarang hanya dalam beberapa tahun berkarir.

"Sebaiknya kamu berkata jujur padaku, sebab cepat atau lambat media lain akan menyadari keterkaitannya" Adrius masih berusaha merayu dirinya.

"Tuan Natta, jangan mengeluarkan berita tanpa menunggu konfirmasi kami".

"Lebih baik memberitahu jurnalis yang kamu kenal dan percaya dari pada pihak lain yang belum jelas kredibilitasnya merilis lebih dulu".

"Aku tidak pernah mempercayaimu" tukas Althea dingin. 

Althea sadar kalau ucapannya barusan menampar telak Adrius.  Hal itu terlihat melalui kedua mata lelaki tersebut. Namun Althea tak mau ambil pusing, sebab dirinya sudah dilukai lebih dulu oleh pria itu, bertahun-tahun lalu. .

"Baiklah kalau begitu, saya sudah memperingatkan anda Nona Salim" suara Adrius berubah kaku.

"Terima kasih tapi saya tidak butuh. Lagi pula bukankah niatan anda kemari hanya untuk mengeruk informasi". Althea benar-benar tidak dapat mencegah dirinya untuk mengeluarkan jutaan kalimat bernada tajam pada pria tersebut. 

Adrius menghela nafas berat, sadar kalau dirinya belum bisa bicara baik-baik dengan Althea sekarang, sebab wanita itu dipenuhi oleh emosi.

"Baiklah. Kalau begitu saya pamit. Selamat sore Jaksa Taslim" Adrius sengaja memberi penekanan di akhir kalimat. Lantas melangkah keluar dari pintu.

Althea bahkan tidak mau menunggu hingga Adrius berjalan menjauh, ia segera menutup pintunya begitu saja lalu tanpa sadar menguncinya dan duduk di depan meja kerja.

Kedua siku tangan menekuk, Althea membenamkan kepala ke dalam kedua tangan. Suara rintihan pelan keluar dari mulut mungil tipisnya.

Pertama pembunuhan yang melenceng dari visinya. Ini baru terjadi pertama kali di hidupnya. Kedua, kematian atasannya. Ketiga, kemunculan Adrius semakin mengacaukan perasaannya. 

Althea jadi bertanya-tanya, apa dia perlu mengadakan acara syukuran untuk membuang sial?.

Dan seakan hari ini belum cukup kacau, ponselnya berdering, panggilan datang dari wakil direktur divisinya. Suara feminim terdengar dari ujung sana, dialah Rossa Harumningtyas, si pemberi keputusan penting sebelum persetujuaan akhir ditanda tangani oleh direktur mereka. Wanita itu meminta kedatangan Althea di ruangannya.

Menutup telpon, Althea memijit kening yang mulai berdenyut nyeri. Tadi pagi dia melewatkan sarapan karena terburu-buru, dan hanya menenggak secangkir kopi hitam buatan Farkas.  Sekarang disaat naga dalam lambungnya sudah memberontak minta diisi, akan tetapi kondisi masih belum memungkinkan.

Berhenti mengeluh Althea, tak bakal ada gunanya.

Kata hati wanita itu. Memperingatkan.

Ia segera berdiri, bersiap menuju ruangan Rossa. Sekaligus mempersiapkan diri kalau-kalau mendapat omelan atas kasus yang tengah terjadi.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

"Apa tim khusus?". Tanya Althea tak percaya. Memandang kaget sosok wanita yang masih saja terlihat memukau padahal sudah berumur 54 tahun dihadapannya.

A Rose's with a Thorn (The Dark Secret Series : #01)Where stories live. Discover now