38. Day-7

110 26 0
                                    


Hai-hai ketemu lagi

Selamat membaca dan semoga suka:)

⚫⚫⚫

Seminggu dirumah orang tua semakin dekat pula dengan mereka. Bahkan bisa dibilang kami akrab sekali, tidak seperti mertua dan menantu.

Sekarang aku dan Geby sedang berbicara ringan biasa, dia bertanya dengan segala jiwa penasaran remajanya, dan aku terus menjawab dengan sabar.

"LIA ADA KAWAN KAU DIBAWAH!!" Suara besar terdengar, tepatnya suara papa. Geby bernafas panjang. "Udahan dulu ya kak. Temen-temen ku udah pada datang. Makasih."

Pipiku diciumnya. Adik ipar itu, gak tau kenapa suka banget nyium pipiku tanpa permisi. Katanya dia dari dulu pengen punya kakak perempuan, biar bisa dicium pipinya, Mas Tama yang abangnya kandung tidak pernah mau dicium adiknya sendiri, padahal jika dia denganku malah nyosor mulu.

Dasar vacum cleaner

Aku keluar kamar Feby, dan pas banget ada temen-temen nya yang mau masuk kamar, dan cuma ada dua gadis remaja seusia Geby. "Eum siang kak." Astagfirullah kaku sekali, seperti bertemu sama atasan saja.

"Eh iya siang. Nyamanin aja ya, oh ya mau minum apa nih? Biar kakak bawakan," Mereka saling pandang. Tapi Geby yang mengatakan, "Jus Jeruk aja ya kak, dan cemilan ringan lain. Btw makasih banyak kakak ipar."

Aku tersenyum pada Geby, eh bukan, tepatnya pada mereka bertiga. "Kalau gitu kakak ambilin dulu. Happy Fun gilr."

Berjalan ke bawah, mengambilkannya apa yang mereka mau. Aku tidak berniat menjadi babu, tapi mereka itu tamu, udah seharusnya dilayani dengan baik walaupun mereka temen dekat Geby sendiri.

Saat aku menuangkan jus jeruk ke dalam teko, ada tangan yang hinggap di perutku, "Siang cintanya Mas," Kecupan pipi dari bekas Geby diciuminya dua kali.

"Siang mas. Minggir ah, entar ada yang liha. Gak sopan Mas sebarin gini apalagi di dapur," Ternyata menjadi bumerang bagiku sendiri, "Kalau begitu ayo ke kamar!"

Menggeleng tegas tapi tidak menatapnya, "Enggak! Gak lihat apa aku lagi buat minuman?Tahan dulu dong Mas, sebentar doang kok."

Mas Tama mengalah. Dia melepaskan pelukannya dan malah menatapku dari samping kiri. "Buat siapa sih?"

"Tamu, eum bukan, tapi lebih tepatnya temen-temen adikmu." Mas Tama mengerutkan keningnya. "Kok kamu yang buat? Bibi mana? Kenapa gak Bibi aja yang buat?"

Aku menatapnya sebentar. "Kalau bisa sendiri enggak perlu Bibi segala Mas, Bibi pasti ada kerjaan lain. Udah lah, cuma gampang gini kok." Mas Tama tersenyum setelah mendengar jawaban terlontar dari bibirku. "Kamu benar-benar wanita yang hebat. Yaudah kalau gitu mas ke kamar duluan. Habis nganterin ini langsung ke kamar ya."

Tersenyum aku melihatnya. "Oke sip. Perlu dibawakan apa gitu?" Eh Mas Tama sudah mengambil botol air putih dingin di dalam kulkas. "Kalau bisa sendiri kenapa harus minta bantuan. see you sayang."

Suami ku yang luar biasa.

⚫⚫⚫

Sudah mengantarkan apa yang mereka mau. Aku menutup pintu kamar mereka, biarkan mereka membahas tanpa takut terdengar dari luar kamar.

Tapi aku dapat mendengar suara samar-sama, buatku suara itu sangat keras menyapa indra pendengaran ku.

Buru-buru aku ke kamar, menyusul Mas Tama yang sudah masuk terlebih dulu. Aku langsung masuk ke dalam kedua tangan Mas Tama yang lagi bersedekap dada menonton tv.

"Hei kamu kenapa?" Menggeleng langsung. "Enggak apa-apa kok, aku cuma ingin merasakan pelukan kamu lagi."

"Benar begitu?" Aku mencium pipi Mas Tama untuk menyakinkan. Cuma itu yang bisa membuat dia percaya buat kali ini.

Kami saling diam, tidak ada di antara kami berdua yang memulai pembicaraan. Mas tama sedang fokus nonton Tv, sedangkan aku fokus dengan pikiranku yang rumit.

Aku tersentak saat Mas Tama membawaku ke dalam pangkuannya dengan posisi badan menghadap dirinya. "Ceritakan ada apa yang sebenarnya!"

Tatapannya meminta kejujuran, dan itu membuatku ketar-ketir sendiri, "Maaf-maaf-maaf. Maaf belum bisa ngasih kamu keturunan, maaf karena aku bukan wani-- mphhh"

Belum selesai berbicara tapi bibir Mas Tama sudah melahap keseluruhan bibirku. Saat akan kehabisan nafas barulah berhenti sebelum terlambat.

"Tidak ada kata itu lagi. Tidak boleh terucap sampai kapanpun. Dan Mas akan menjawabnya seperti dulu saat pertama kali Mas mengatakannya. Mas akan menunggunya sampai kapanpun, dia itu titipan, jika belum ada berarti memang Allah belum mempercayai kita untuk menjaganya. Tolong, ini untuk yang terakhir kali, Mas gak mau ada kata-kata itu lagi. Sudah cukup sayang." Mas Tama memelukku erat. Aku menumpahkan segala yang aku bawa langsung padanya.

Dia tempatku, dan dia hanya milikku sampai kapanpun.

Merenggang pelukan kami, mata Mas tama menatap dengan rasa yamg sagat terlihat jelas. Perlahan dan menuntut, Mas tama mencium bibirku lebih dalam.

Aku membalasnya sama. Dan dengan harap kami berdua berdoa semoga proses kali ini memang benar-benar bisa mendapatkannya. Walaupun dengan cahaya matahari masih bersinar di luar sana.

⚫⚫⚫

Saat makan malam kami telat, dan sesuai konsekuensi jika telat untuk makan bersama, tidak akan ada lagi jatah makan, tidak terkecuali siapapun itu.

Tadi aku malu sekali dengan keluarga Mas Tama sekaligus bibi saat terlambat datang, tapi Mas Tama malah senyum-senyum tidak jelas, memang aneh.

"Udah gak usah khawatir. Kita pergi makan ke luar aja yuk, sekalian pacaran juga," menatapnya sebal. Enteng sekali astaga.

Mas Tama sudah membawa kunci motornya. Ingat motor yang Mas Tama bawa saat akan akad nikah? Dan ternyata motor itu adalah motor saat dia masih bujangan.

Setelah selesai menikah, ada saudaranya yang membawa motor itu kembali ke Surabaya lagi setelah datang ke Semarang. Dan kata mas Tama, biar motor itu tahu kalau Mas Tama sudah benar-benar beristri. Tidak masuk akal tapi begitulah adanya.

Merasakan kecupan di kening. "Ayuklah kita pergi. Mas sudah lapar loh," aku mencubit pinggang nya tak terlalu keras. "Lagian tadi sih kamu pake acara nambah segala. Kan jadi telat kita makan mal bareng."

"Kamu juga tadi mau-mau aja tuh. Hayoloh? Sekarang kan udah selesai, see? Waktunya makan, dan kita akan makan di luar," mas Tama akan keluar kamar terlebih dahulu. "Tunggu!!"

Menyambar jaket yang ada di gantungan. Langsung aku buru-buru melangkah biar tidak ketinggalan lagi sama Mas Tama, apalagi langkah kakinya yang panjang-panjang itu.

Di ruang kumpul lagi ada Mama dan Papa yang sedang mengobrol. Aku tidak tahu geby ada dimana, mungkin udah masuk kamarnya lagi.

"Pa, Ma kami izin pergi cari makan dulu ya sekalian jalan-jalan ngenalin Surabaya ke Arumi. Yok yang, Assalamualaikum,"

"Eh iya. Assalamualaikum Pa, ma," Mas Tama asal main menggandeng pergi gitu aja padahal kan aku masih mengumpulkan nyali dulu.

Sampai di motor aku menepuk pundak nya keras, ini beneran keras sampai berbunyi nyaring. "Kamu itu kebiasaan. Gak sopan Mas kaya tadi gitu, Papa dan Mama belum ngizinin udah main narik pergi gitu aja."

Mas Tama memakaikan aku helem, "Mereka pasti mengizinkan kita. Mas tahu itu dan mas sangat yakin."

"Terserah," menaiki motor sport sedikit kesusahan. Ini joknya tinggi amat sih, jadi susah kan naiknya.

Dan pas naik langsung memantul sangking kagetnya ini motor. "Siap? Mari meluncur."

⚫⚫⚫

Mas Tama udah berulah makin jadi wkwkw

Oke see you next part

Luvv💚

MENDADAK?Where stories live. Discover now