34. Memasak

122 24 1
                                    

Aku gak tau mau ngomong apa.. makasih yang udah mau baca padahal udah merasa kalau makin aneh ini ceritanya:)

Selamat membaca dan semoga suka

⚫⚫⚫

Harus bersabar selama sepuluh menit baru motor ibu Hayyin bisa menyala dengan baik. Aku sudah mencobanya juga, aman kok ini motor, gas dah remnya di kondisi baik.

Mas Tama juga sudah aku kabari kalau aku akan pergi ke pasar dengan Hayyin. Dia bilang 'hati-hati dijalan, jangan ngebut, keselamatan nomer satu' Mirip seperti pesanku buatannya tadi.

Menoleh ke arah hayyin, "Siap berangkat?" Dia mengangguk. "Kuy lah mbak."

"Izin dulu sama Mbah ya," Kami berdua masuk rumah Mbah siyem, "Mbah kami ke pasar dulu ya."

Beliau yang sedang duduk sambil menikmati secangkir teh menoleh, "Iya nak hati-hati di jalan."

Aku dan Hayyin kembali ke motor. Bersiap untuk pergi ke pasar untuk mencari bahan-bahan yang digunakan.

Tiga puluh menit sudah waktu yang dilalui. Akhirnya kamu berdua sampai di parkiran padar yang sudah banyak kendaraan disini. Aku memilih tempat yang pas untuk memarkirkan motor.

Biasanya saat di desa dulu aku selalu memarkirkan di sebelah toko plastik, bahkan aku sudah mengenal siapa pemiliknya, tapi sekarang berbeda, aku tidak kenal dengan orang-orang disini walaupun ini sudah ke empat kalinya.

Yang hanya aku kenal itu tukang parkir. Dulu dia yang berkenalan dengan Mas Tama, dan aku pun ikut berkenalan dengan nya.

"Sama adiknya? Mas suami mana?" Tukang parkir menyapa. "Ah enggak kang. Dia cucunya pemilik kontrakan kami, bisa dianggap adik saya juga kang." Dia cuma tersenyum sambil memberikan kartu parkiran.

"Kang wo, yang jualan singkong di sebelah mana ya?" Kang parkir yang lebih suka dipanggil kang Wowo pun seperti sedang berfikir. "Aihh saya lupa. Di lapak sayur pasti ada, kalau enggak sebelahnya palingan juga ada mbak."

Aku mengangguk. "Oke kang makasih loh ya." Berjalan menghampiri orang yang akan parkir. Tangannya diangkat naik membalas.

"Yok Hyin kita cari target," Hayyin menatapku setelah tadi matanya mengedarkan ke arah lain, "Siap atuh mbak."

⚫⚫⚫

"Itu ada mbak," Hayyin mengarahkan tangannya menunjuk lapak penjual. Mataku memicing. "Ah iya itu. Kesana ya,"

Tangan Hayyin dari tadi mengandeng tanganku. Dia seperti takut kalau kehilangan, aku menyadari apalagi genggamannya tidak lemah.

Kami berdua menghampiri lapak penjual. Dia tidak hanya menjual singkong tapi juga ada kentang, ketela tanah, ubi dan talas. Jika melihat talas aku teringat sama Bapak di kampung, beliau paling seneng kalau ibu membawa talas dari pasar. Jadi makin kangen Bapak dan ibu.

"Cari apa neng?" Aku melihat-lihat dagangan seorang ibu-ibu. "Singkong Bu. Berapa sekilonya?"

"Delapan ribu neng. Bagus-bagus singkongnya. Pilih aja boleh." Aku memilihnya. Singkong ini pada besar-besar, cocok seperti yang dicari. "Sekilo enam ribu ya Bu. Saya mau ambil tiga kilo."

"Tujuh ribu ya neng," Aku menggeleng. "Enam ribu. Saya ambil tiga kilo loh Bu."

Ibu penjual pun mengambilkan plastik kresek, "Ya udah. Silahkan pilih neng. Cuma singkong doang belinya?"

Aku menoleh ke arah Hayyin yang juga ikut memilih singkong. "Kamu mau apa? Kentang, ubi atau talas?"

"Talas enak gak si mbak?" Bukan aku yang menjawab tapi ibu penjual. "Enak kok neng. Lebih berisi dari pada singkong atau ibu. Makan satu udah kenyang kok ini."

MENDADAK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang