I - Ember Merah

7K 427 3
                                    

Dua tahun sebelumnya...

Raka mengeluh keras-keras. Menendang ember yang ada didepannya dengan kesal. Membuat air didalamnya memercik keluar, mengenai dua orang yang kini berdiri dikiri dan kanannya.

Salah satu dari mereka lalu menunduk dengan kalem, mengusap seragamnya yang basah sebelum mengambil alih ember berwarna merah itu. Berjalan meninggalkan Raka bersama satu orang lainnya.

Mau tak mau Raka dan anak laki-laki disampingnya ikut berjalan dibelakangnya walaupun ogah-ogahan.

Hari ini sial sekali. Raka kabur dari kakeknya, memilih naik transjakarta ke sekolahnya yang baru dan ternyata ia benar-benar merepotkan.

Raka tidak tahu harus berhenti dimana, apalagi SMA yang ia putuskan masuk disana tidak berada dijalur bus itu. Tahu begini mending ia ikut saja tadi ketika Tarendra menyuruh ikut supir.

Sebenarnya alasan Raka sederhana, ia tidak ingin menjadi olok-olokan lagi ketika orang-orang tahu dia anak siapa, ia juga tidak ingin masuk sekolah internasional. Merasa tidak pernah cocok disana. Lalu ketika Clara bercerita tentang masa SMA-nya, Raka memaksa ingin masuk sekolah disana.

Aseelah nama sekolahnya. Sekolah swasta memang, tapi tidak seperti sekolah swasta lain yang ditawarkan oleh kakeknya, juga oleh Wira.

Omong-omong soal Wira dan Clara, dua orang itu seperti orang tua pengganti baginya. Awalnya Wira suka menolak kehadirannya, terlebih ketika laki-laki itu tahu bahwa ia berbohong mengenai umurnya. Juga penolakan dari adik Clara yang menyebalkan itu.

Namun Clara tidak. Wanita itu memperlakukannya dengan baik. Sangat baik malah. Suka membuatkan ia makanan dan bertanya tentang harinya. Yang selama ini tidak pernah Raka dapatkan dimana-mana. Wira yang baru menikahi Clara beberapa bulan yang lalu, tentu hanya bisa pasrah dan mau tak mau ikut menerima Raka juga.

Tapi ketika ia telat hari ini, seminggu setelah ia resmi menjadi anak SMA, peraturan sekolah ini sangat ketat. Ia telat beberapa menit dan terpaksa menunggu diluar gerbang sekolah. Raka ingin kabur sebenarnya, telat dihari senin bukan sebuah prestasi yang bagus.

Apalagi ketika ia sadar ada orang lain yang telat bersamanya, dan terlihat tidak peduli. Berdiri dengan tenang menunggu dibukakan gerbang. Kan Raka jadi bingung juga kalo nekat kabur.

Jadi disinilah ia sekarang. Berada dilapangan basket indoor sekolah barunya. Dihukum membersihkannya. Masalahnya kan ini lapangan selesai dipakai beberapa hari yang lalu oleh anak osis dan siswa baru untuk masa orientasi, ya tentu sangat kotor dengan debu dimana-mana.

"Kalo lo gak bersedia bersihin mending diem aja, suara lo berisik banget tau gak,"

Raka menganga mendengar suara cowok yang berada disebelahnya. Anak laki-laki berbadan sangat tegap, rambut hitam lebat hampir menutupi dahinya membuat Raka bertanya dalam hati bagaimana mungkin rambut itu tidak menarik perhatian pengurus MOS.

"Heran aja. Sekolah sebagus ini gak punya OB apa, masa nyuruh siswa yang bersihin lapangan segede ini,"

Celutukannya tidak didengarkan. Dua orang itu mulai bekerja dalam diam. Teramat diam. Raka yang biasanya berisik juga ikut diam. Walaupun dalam hati ia mengeluh berkali-kali. Seperti mendengar tawa kakeknya yang menyebalkan.

Hampir seharian membersihkan lapangan yang luasnya diketahui semua orang itu, Raka dan dua anak lainnya itu sudah ambruk. Terduduk menyandar lelah disalah satu tribun. Alat kebersihan sudah akan mereka simpan ketika seorang OB datang memgambil alih. Mengucapkan terima kasih berkali-kali atas kerja keras mereka.

"Kakek gue Tarendra Sanjaya,"

Raka tidak tahu apa yang membuatnya mengucapkan itu. Padahal dari awal ia sudah berniat menutupi dirinya dari orang-orang, tapi sebuah rasa penasaran akan respon dari dua orang ini membuatnya tidak tahan untuk menyampaikan fakta itu.

Lantas ketika keduanya hanya diam mendengarkan, Raka menoleh untuk melihat raut wajah keduanya. Dua anak itu hanya diam. Anak yang punya tahi lalat kecil dipangkal hidungnya hanya mengangguk kecil sedangkan anak yang berwajah tegas itu hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Tarendra Sanjaya yang punya Sanjaya EPC itu,"

Keduanya masih diam. Tidak merespon sama sekali. Raka masih penasaran, mereka ini tidak tahu ia siapa atau memang tidak peduli?

"Ohh,"

Hanya itu respon salah satu mereka. Membuat Raka ketar-ketir. Seolah siap dengan respon buruk setelahnya.

"Bokap lo Anton Sanjaya, Menteri yang korupsi itu maksud lo?"

Raka menelan ludah kasar. Anak yang badannya kekar itu tahu bapaknya siapa.

"Terus kenapa?"

Raka mengangkat wajah bertemu dengan wajah datar itu. Anak dengan tahi lalat kecil itu. Matanya tidak menunjukkan apa-apa.

"Yang korupsi lo atau bapak lo?"

Raka tidak siap menerima pertanyaan itu. Lalu tangan itu menepuk bahunya pelan.

"Kalo bukan lo yang korupsi gak ada yang perlu lo takutin. Lo disini atas diri lo sendiri bukan untuk kakek lo yang tajir mampus itu apalagi buat bokap lo yang koruptor kampret itu,"

Raka belum pernah menerima ini. Belum pernah ada yang menghina bapaknya tanpa membawa namanya sendiri. Sebelumnya orang-orang hanya melihatnya sebagai anak koruptor.

Tapi ucapan dari anak berbadan kekar itu membuatnya merasa sedikit terhibur. Walaupun kalimatnya pedas dan menyebalkan.

Anak satunya hanya mengangguk setuju. Lantas bergumam pelan.

"Memangnya kita bisa milih dilahirkan dikeluarga mana?"

Raka tersenyum.

Hidupnya sebagai anak SMA mungkin akan menyebalkan seperti hari ini. Tapi ia tahu ada yang berada disisinya seperti yang dilakukan Wira dan Clara.

Dan Begitulah persahabatan mereka dimulai. Mata Raka berpindah pada sebuah ember merah yang tadi ditendangnya. Yang sepertinya lupa dibawa oleh OB tadi.

"Baru kali ini gue senyum liat ember doang,"

Kedua anak itu menoleh. Satu dari mereka mendengus.

"Gila lo!"

---

Haiii, apa kabar?

Semoga kamu makin sehat dan makin bahagia

Well aku gatau mau ngomong apa, tapi semoga suka ya sama cerita ini. Dan selamat menikmati.

Much love

-aku

Senja Yang Redup [FIN]Where stories live. Discover now