03

199 32 1
                                    

Orang bilang definisi teman dan sahabat itu berbeda. Kanaya tidak tahu apakah ada yang menganggapnya sebagai sahabat atau tidak. yang ia tahu dulu dia punya seorang teman. Teman yang mungkin hampir menjadi sahabat.

Laskar yang memperkenalkannya pada teman itu. Sejak dulu Naya memang susah bergaul. Bahkan tak jarang orang yang melihatnya menyebutnya angkuh dan sombong. Kanaya tidak peduli, toh terserah mereka saja mau bilang apa, yang Naya tahu dia bisa bahagia dengan caranya sendiri, itu sudah cukup.

Teman dari Laskar adalah satu-satunya yang Naya punya. Tapi, kepergian Laskar juga membuat dia kehilangan teman itu. Temannya tidak pergi, tapi dia yang pergi. Naya lari dari teman itu.
Lari dari luka dan apapun yang menyakitinya.

"Nak, sarapan dulu sini" Selasa pagi, bersama mendung yang mendukung. Mama duduk di meja makan.

"Gak, ma. Naya buru-buru. Hari ini piket" katanya, sambil menggunakan sepatunya di depan pintu.

Papa dan Mama hanya saling menatap. Padahal jam baru menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit kenapa dia buru-buru sekali?

"Ya sudah. Sampai di sekolah sempetin makan dulu, yah" Mama hanya khawatir, takut kalau-kalau anak itu pingsan saat upacara bendera.

Bertugas membersihkan kelas di hari senin memang sangat menyebalkan, pasalnya 15 menit sebelum upacara dimulai semua kelas sudah harus tertata rapi dan bersih. Itulah alasan kenapa Kanaya harus berangkat sepagi ini.

Satu pesan masuk. Dari Maurel

"Nay, gue nyuruh temen buat jemput lu. Soalnya gue baru bangun"

Naya hanya menghembuskan nafas kasar. Teman yang mana yang ia maksud?

Tidak apa-apa kalau itu Vansa. Naya cukup akrab dengannya sekarang. Tapi, tidak dengan Arbani atau Reygan. Apalagi Arsa, sangat tidak akrab.

10 menit ...
15 menit ...

Hampir 20 menit, dan "teman" yang di maksud Maurel tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Siapa manusia tidak tepat waktu itu sih? Kalau tahu begini lebih baik Naya pesan Ojol saja tadi.

"Naya?" Saat berjalan lumayan jauh meninggalkan halaman rumah. Naya melihat Arsa dengan mobil benz silver nya .

Sial. Ternyata Arsa teman itu. Naya tidak peduli, dia terus berjalan berharap ada taksi atau ojek yang lewat.

"Hei!!" Di hiraukannya suara itu, Naya terus berjalan sampai satu tangan menariknya. "Tuli lo?" Katanya.

Naya hanya menatap Arsa datar tidak peduli jika laki-laki itu kesal atau marah. "Ayo masuk." Arsa menariknya, membawanya kedalam mobil. Naya tidak protes, walaupun hatinya menolak untuk ikut bersama ketua osis itu, tapi otaknya terus berputar. Memikirkan kemungkinan jika dia menolak bisa saja dia terlambat. Karena jika tidak melaksanakan piket, Naya akan bayar denda.

Naya punya uang hanya saja dia malas berurusan dengan bendahara kelas yang cerewet dan banyak tingkah bernama Alya.

"Maurel bilang lo piket, kalo telat nanti bayar denda. Dia yang nyuruh gue jemput lo" . Jelas Arsa, padahal tidak ada yang meminta.

Hening. Tidak ada yang bersuara setelahnya.  Arsa terfokus ke jalanan jakarta yang masih pagi sudah di warnai polusi. Sementara Kanaya hanya menatap keluar jendela. Melirik apa saja yang tertangkap oleh mata.

Hari ini Jakarta mendung, dan sepertinya nanti akan terguyur hujan. Naya tidak suka. Karena hujan selalu membuka lukanya kembali mengingatkannya pada masa kelam 2 tahun silam.

Hujan identik dengan kesedihan dan Naya benci harus bersedih. Tapi ketika hujan turun Naya selalu ingin menangis, dan seperti hari ini saat hujan akhirnya benar-benar membasahi jalanan jakarta. Air mata Naya juga ikut serta jatuh membasahi pipinya.

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now