13: Quiet for A Moment

Start from the beginning
                                    

Entahlah. Alasan tidak ingin mengecewakan sang suami bukanlah satu-satunya. Rosé pikir, jikalau kematian akan segera menghampiri, paling tidak ada Jaehyun di sampingnya yang akan menemani wanita itu sepanjang sisa usia.

Kembali meletakan nampan di atas nakas, Rosé melangkahkan kakinya perlahan mendekati jendela guna mencoba mengamati sebentuk busur yang tersemat pada pekatnya langit. Sepasang lengan panjang terbalut kain wol oranye tebal itu mendorong dua bilah pintu kaca menuju balkon. Kian memangkas sekat di antara dirinya dengan sang rembulan, meski hanya sedikit. Selain menikmati pemandangan di atas sana, Rosé kini juga bisa memandangi suasana di luar resort yang seolah tiada habisnya berselimut salju, merasakan pula udara malam yang menggelitik dan sunyi yang kian terpatik.

Angin berhempus cukup kencang, menerbangkan helaian rambut panjang Rosé beserta ujung rok sutra selutut yang dikenakannya. Cukup pula membuat perempuan itu terusik hingga memeluk tubuhnya sendiri, tetapi tidak dengan sosok pria yang berdiri di atap gedung resort, meski ia hanya mengenakan kemeja hitam yang tak seberapa tebal.

"Kau baik-baik saja?"

Ponsel menempel di samping telinga. Pada seseorang di seberang sana, Jeffrey bertanya. Cukup lama jeda sebelum sebuah suara yang hanya bisa didengar olehnya kemudian menanggapi.

"Aku menemukan suratmu pagi itu, di tempat biasa kau meletakannya, di meja makan bersama hidangan sarapan. Ini mungkin cukup menggelikan tapi jujur saja, pagi itu aku makan sambil menangis setelah membacanya. Itu bukan kali pertama kau menulis surat dengan isi yang sama, aku selalu berakhir mencemaskanmu dan mencoba tenang dengan percaya bahwa kamu akan kembali. Namun, hari itu ...."

".... entah mengapa aku berpikir sesuatu yang buruk akan menimpamu. Daging panggang malam itu kupikir akan menjadi hidangan terakhir yang aku santap bersamamu, dan pagi itu akan menjadi kali terakhir aku memakan masakanmu."

Mendengar serentetan kalimat yang diucapkan oleh Mark, pandangan mata Jeffrey menerawang jauh hingga sampai pada momen silam. Malam sebelum Jeffrey mengeksekusi rencana yang telah ia garap matang-matang—membunuh Daniel—ia mengajak Mark makan daging panggang. Dini hari di kala Mark masih terlelap, Jeffrey telah berkasak-kusuk di dapur membuat hidangan sarapan. Lantas, bersama kerisauan yang bertandang di jiwa, Jeffrey menggoreskan pena pada secarik kertas kecil yang kemudian ia letakan di atas tudung saji penutup makanan.

Mark, jika suatu kekacauan terjadi karenaku, segera pergi tinggalkan tempat ini sejauh mungkin. Jika umurku panjang, maka aku akan menyusulmu.

Jeffrey

Selalu demikian, di kala Jeffrey tahu bahaya besar mengintainya, ia akan menulis surat yang sama untuk Mark. Ketika dipekerjakan membunuh seorang pejabat pemerintah korup, mencuri berkas-berkas penting di suatu instansi negeri, memukul pria tua yang berselingkuh atas suruhan istrinya, atau ketika menabur racun sianida pada minuman para bandar narkotika. Jeffrey selalu memperingatkan Mark untuk segera meninggalkan rumah yang mereka tinggali.

Jika kemungkinan terburuk serupa Jeffrey yang berakhir mati mengenaskan di tangan orang-orang suruhan atau harus terseret ke ranah pengadilan dan menerima sanksi mendekam seumur hidup di balik jeruji besi atau menjalani eksekusi mati, Jeffrey sama sekali tak ingin menyeret nama Mark dan membuat pemuda itu dalam bahaya besar.

"Hingga kekhawatiranku berbuah nyata. Aku meninggalkan kelas tanpa menyelesaikan ujianku setelah mendengar berita seorang putra konglomerat tertembak. Dan, saat aku keluar dari gedung kampusku, nama dan wajahmu terpampang di mana-mana. Aku berlarian pulang, membereskan beberapa barang dan tak lupa membawa foto kita yang hanya satu-satunya. Kau selalu tak ingin dipotret, foto waktu kita makan nasi bungkus di tepi sungai, diambil dengan kamera polaroid yang tak sengaja kutemukan sebelum aku menjualnya, aku hanya punya itu."

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now