42. Kekacauan Bermula.

Start from the beginning
                                    

"Aneh lo berdua!"

"Loh kok gue juga!" Tian mendengkus kesal. "Iya, sih cuma setetes tapi muka lo itu kayak ketemu kuntilanak tau, ngga!" Tian ikut menatapku.

Heh?

"Muka pucet terus mata melotot," lanjut Tian. "Lo nangkep sesuatu yang ganjil?" Suaranya memelan saat mengatakan itu.

Tidak mungkin aku akan mengatakan jika tadi bertemu dengan bapak!

"Ngga ada apa-apa kok, suer!" kataku dengan mengangkat jari tengah dan telunjuk. Memang tidak ada yang ganjil,'kan? Keberadaan bapak di tempat ini tidak mempengatuhi rencana yang kami susun,'kan?

"Dimas." Johan menudingku menggunakan garpu. "Jangan buat rencana malam ini gagal!"

Aku tersentak mundur hingga punggung bersentuhan dengan sandaran kursi. Ujung garpu itu menghunus langsung ke bola mata. Mungkin jika aku tidak bergerak, ujung lancip itu sudah bersentuhan dengan kornea mata.

"Iya."

Akhirnya setelah mendengar jawaban dariku, Johan menusuk bakso dengan garpu tersebut dan langsung memakannya dalam satu suapan.

Tingkahku sudah membuat Tian dan Johan curiga. Ini tidak bisa terus dibiarkan itu terjadi. Dengan memaksakan diri aku mengambil pisau dan garpu lalu mulai mengiris daging steak dan menikmatinya.

Sial, sial, sial. Keberadaan bapak di tempat ini terus mengusik pikiran. Setelah pertemuan tadi aku tidak melihat batang hidungnya lagi. Untuk mencarinya saja aku tidak bisa, Johan dan Tian  mengultimatum agar selalu bersama.

Pesta akan berakhir dalam satu jam lagi dan bapak masih belum kelihatan. Jadi dia bekerja di kapal pesiar ini. Cuih, ternyata dia bisa juga mencari pekerjaan. Kenapa tidak dari dulu saja? Dan kenapa harus kapal pesiar kepunyaan Naufal Firdaus?

Aku tiba-tiba teringat, sebelum bapak pergi dia sempat mengelus dadaku. Apaan coba maksudnya? Aku mulai melakukan hal serupa.

Usapan bapak lembut sekali, tidak seperti dulu di mana tangan itu hanya dia gunakan untuk memukul. Eh, aku kenapa, sih?

Tunggu, tunggu sebentar! Dia mengusap dadaku. Sekali lagi aku melakukan hal yang dilakukan bapak. Seketika telapak tangan berhenti di dada kiri. Tepatnya di atas saku rompi jas. Seingatku kantong itu kosong tapi kok sekarang aku merasa ada sesuatu di dalamnya?

Dengan perlahan aku mencoba mengeluarkan benda itu. Kertas? Dan ada tulisannya!

Membaca isi surat di tempat seperti ini adalah ide yang buruk. Aku harus mencari tempat yang sunyi.

Untung saja kali ini aku mendapat sedikit kelonggaran dari Tian dan Johan. Mereka tentu tidak mau aku BAB di tengah keramaian. Meski begitu mereka hanya memberi waktu lima belas menit untuk menyelesaikan panggilan raja. Waktu yang sangat cukup untuk membaca surat dari bapak.

Bebas dari Tian dan Johan aku harus kembali berhadapan dengan dua penjaga pintu. Mereka kenapa, sih kok sansi banget?

"Gue mau ke toilet, udah diujung nih. Mau gue berak di sini? Nanti kalian yang bersihin."

Sedikit ancaman rupanya mampu mengecoh keduanya. Aku langsung tancap gas menuju toilet terdekat. Sejauh mata memandang, koridor terlihat sangat sepi. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Setelah sampai di depan toilet aku segera masuk ke salah satu bilik.

Waktu yang di tunggu-tunggu datang juga. Mari kita baca bersama-sama isi surat dari bapak.

Naufal tahu semuanya. Dia tahu kalau kamu yang telah bunuh adiknya. Dia juga tahu selama ini lo menyamar menjadi Ardi Firdaus setelah kematiannya. Dia mau balas dendam kepada lo, Dimas.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Where stories live. Discover now