33. Anka Punya Dendam.

26 12 0
                                    

Gadis itu berjalan gontai menapaki koridor sepi ini. Tatapannya tertuju kepada sepasang kaki yang mengayun bergantian. Seraya mengangkat tangan kanan di udara, ia perlahan menekuk jari-- mulai dari kelingking, manis, tengah. Saat hendak menekuk jari telunjuk, tiba-tiba saja perasaan bergemuruh kembali muncul. Jari tersebut juga terasa berat, ia bergetar. Tidak tahan dengan ini semua. Akhirnya tangan kanan tersebut melemah dan terjatuh ke sisi tubuh.

"Serius, lo masih penasaran sama Dimas?"

Leher sang gadis langsung tegang setelah mendengar suara berat itu. Sigap, tubuh sintalnya berputar sembilan puluh derajat. Dalam hitungan detik, bola mata pekat itu menyorot sebuah pintu usang yang berjarak dua meter dari tempatnya berdiri.

Dibalik pintu yang catnya telah terkelupas itu. Terdapat lima pemuda dengan penampilan berantakan. Tidak ada satu orangpun yang memakai blezer, dasi diikat di kepala, dua kancing teratas dibiarkan terbuka dan penampakkan mereka semakin diperparah dengan lintingan tembakau yang diapit di sela bibir.

"Jangan pernah sebut nama orang itu di depan gue!"

Seorang pemuda bangkit dari kursi. Lantas ia mendekat kepada temannya yang terbakar emosi. Membuang puntung rokok yang hampir habis, ia lalu menepuk-nepuk pundak sang teman.

"Santai, bro ... santai. Gue tahu seberapa ngga sukanya lo sama noh orang. Tapi, lo ngga boleh gegabah. Gitu-gitu dia punya bela diri yang mumpuni."

Pemuda berkulit putih bening ini mendelik, dengan sekali gerak ia bangkit dari atas meja. Lalu dengan kurang ajarnya, menarik kerah pemuda yang baru saja berujar.

"Maksud lo apa?! Lo ngeremehin gue?!"

Cekatan tiga pemuda lainnya langsung berdiri dan melerai teman mereka. Pemuda yang ditarik kerahnya, terbatuk-batuk. Ia sedikit menyingkir, membiarkan teman yang lain menghadapi pemuda itu.

"Duel hari itu belum selesai, dia dapet bantuan sama cewek yang nonjok Andre!" Dia berucap sembari jari telunjuk mengacung pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya.

Pemuda yang menjadi sorotan, mengerling ke kiri. Ia lantas mengangguk." Sumpah dah, bogem tuh cewek kerasan banget. Hidung gue aja masih nyut-nyutan."

"Anka, bukan gitu maksud gue, kalo lo mau duel lagi sama dia lo harus punya strategi. Meskipun cewek bohay itu ngga datang tetep aja lo bonyok. Hampir terkapar, lagi."

Pemuda yang bernama Anka itu tertegun sebentar. Ia kembali duduk di meja yang permukaannya penuh dengan coretan. Menekuk satu kaki sementara yang lain dibiarkan terjuntai. Ia menumpu dagu dengan tangan yang mana ujung sikunya menempel pada lutut.

"Ka, sebenernya apa yang terjadi antara lo dan dia? Selama yang kita tahu, permusuhan kalian berdua ngga pernah sampe harus duel satu lawan satu."

Bola mata Anka bergulir ke kanan. Di sana pemuda berambut kriting berdiri tegak sembari balas menatapnya.

Anka sendiri membenarkan yang diucapkan sang teman. Alasan selama ini perseteruan antara dirinya dan Dimas tidak lain tidak bukan kerena Nimas Adisty.

Gadis bodoh penyabet ranking terakhir, Anka tidak akan pernah lupa. Dia sangat suka menggangu, mengejek, sampai merundung gadis itu. Entahlah, di mata Anka ekspresi saat Nimas tertekan bahkan menangis mempunyai daya pikat tersendiri.

Sayangnya, saat catur wulan kedua di kelas 1 SD waktu itu. Ia harus pindah ke Papua karena pekerjaan ayahnya. Selama menghabiskan masa kanak-kanak di pulau paling timur itu, Anka merasa ada yang kurang. Ia tidak pernah melupakan Nimas, bahkan sesekali merindukan sosok gadis cengeng dan bodoh itu.

Ketika memasuki bangku SMA, Anka sekeluarga kembali ke ibukota. Keberuntungan kembali berpihak Anka. Ia dipertemukan lagi dengan sosok gadis yang selalu mengusik pikirannya itu. Bahkan, pemuda pemilik kulit putih bening ini terkesima saat pertama bertemu. Gadis itu semakin cantik dengan rambut bergelombang serta lesung pipi yang semakin dalam.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Where stories live. Discover now