Cerita tentang dia

101 16 0
                                    

Hidup kadang lucu ya, entah kenapa memang itu yang di rasakan oleh Nova. Disaat ia ingin mati, dua malaikat datang menjadi cahayanya. Dan disaat ia ingin hidup lebih lama, penyakit ini malah datang sebagai kabar bahwa hari kematiannya akan datang.

Ia terdiam menatap kedua putranya yang tertidur, mata mereka bengkak menandakan mereka habis menangis. Entahlah, ia mendadak hanya bisa berpasrah. Setidaknya ia agaknya bisa sedikit lega kalau nyawanya diambil sekarang. Akan ada yang menjaga kedua putranya, kebutuhan mereka terpenuhi mungkin sampai mereka menikah nantinya.

Tapi dalam lubuk hati terdalam ia menyayangkan kondisinya. Masa remaja mereka harusnya penuh dengan suka cita, mengeksplorasi jati diri mereka bukan malah menjaganya yang tinggal menjemput ajal.

"Mama jangan pergi,"

Satu tetes air turun dari mata hazelnya. Bahkan dalam tidurnya, Revan menahannya untuk tetap tinggal.

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Nova, dapat ia lihat pria berjas putih yang selama ini menjadi dokternya sedang mendekati dirinya. Agak heran sebenarnya mengingat saat ini masih belum waktunya pemeriksaan.

"Nova"

"Nov, boleh kita bicara sebentar?" Tanya Rigel sedikit berbisik.

Menghapus air matanya, Nova kemudian tersenyum, ia lalu meminta Rigel untuk membawanya keluar dari ruang tempat ia di rawat inap. Akhirnya ruangan Rigel menjadi satu-satunya tempat mereka untuk berbicara. Aroma lavender seketika menyapa penciuman Nova, aroma yang mana merupakan kesukaannya.

"Aku ingat semuanya, tentang kita."

Sungguh awalan yang mengejutkan bagi Nova.

"Maaf, karena pernah jadi alasan kamu pergi."

Nova tak berniat membalas omongan Rigel. Ia ingin mendengarkan semua yang ingin dikatakan oleh orang yang pernah menjadi bagian hidupnya.

"Waktu itu aku engga tau kalau tindakan aku bikin kamu pergi, maafin aku."

Nova menghela nafas, ia sebenarnya tidak ingin mengingat kejadian itu. Masa terberat dalam hidupnya sebelum si kembar datang.

"Aku udah maafin kok, kamu juga harus coba maafin diri kamu. Aku engga mau kamu jadi alasan aku gentayangan." Nova terkekeh, Ia benar-benar sudah merelakan kejadian itu. Ia kan mau mati, masa iya dia masih menyimpan dendam masa lalu.

"Aku bakal coba selametin kamu, aku engga mau kamu pergi begitu aja."

"Dengan cara?"

Rigel terdiam, pertanyaan Nova sukses menghantam ulu hatinya.

"Kita sama-sama tau kalo aku udah engga ada harapan, itu yang kamu bilang dua bulan lalu. Bisa bangun hari besok aja aku masih bersyukur. Kamu dokter, bukan Tuhan yang mutusin kapan aku hidup dan kapan aku mati. Jangan paksain diri kamu buat nyelametin aku." Nova mendongak, mencoba menghalau air mata yang ingin keluar.

Dari sisi lain, Rigel merasakan sakit, sejak ingatan itu datang lagi, Rigel benar-benar diambang kehancuran. Apalagi saat mengingat Nova dan penyakit sialannya itu.

Masa indah pernah mereka lalui hingga akhirnya ia dengan ego dan sikap brengseknya menghancurkan apa yang ia coba pertahankan. Apa ia masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengulang masa indah itu?

....

"Bang, Mama tidur?"

"Hm, abis minum obat langsung tidur."

"Mama bakal baik-baik aja kan bang?"

Tak ada jawaban. Rasanya berat untuk menjawab pertanyaan adiknya. Ia ragu wanita yang kini terbaring itu bisa kembali menjadi wanita yang kuat.

"Kalau Mama udah ga ada, Abang bakal tetep sama Revan kan?"

"Kalo engga sama gue terus Lo mau sama siapa?"

"Sama ibu."

Devan mengerutkan keningnya, ia menarik Revan keluar. Ada yang perlu ia luruskan saat ini. Untung saja suasana taman rumah sakit sangat mendukung untuk pembicaraan mereka. Devan mendudukkan Revan lalu ia berjongkok di depan sang adik.

"Van, ceritain semua yang ada di hati Lo! Jangan ditahan, Abang disini, walaupun Abang engga tau apa yang kamu rasain sekarang tapi Abang bakal berusaha jadi sandaran kamu" suara Devan melembut kala ia mengucapkan kalimat itu.

Isak tangis Revan akhirnya terdengar, cukup membuat Devan menjadi seorang kakak yang gagal. perlahan ia mengelus jemari Revan yang sedikit bergetar, mencoba memberikan kekuatan pada sang adik.

"Orang itu dateng terus bilang kalo dia ibu kandung kita bang, gue engga mau percaya tapi Mama bilang itu semua fakta. Salah engga sih bang kalo gue engga mau ngakuin dia, ibu kita cuma Mama kan bang? Mama itu..... Mama." Revan memegang dadanya. Sesak nafas, efek dari depresinya itu menyerangnya.

Devan yang panik segera mendekap pipi adiknya, "Revan, rileks, iya ibu kita cuma Mama. Sekarang ikutin Abang. Tarik nafas.....Keluarin."

Revan menurut, ia dengan teratur mengatur nafasnya agar sesak nafasnya hilang. Setelahnya ia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Devan,

"Mama selamanya akan jadi Ibu kita, abang rasa istilah darah lebih kental dari pada air engga berlaku buat kita dan Mama. Lo bakal selalu ada sama gue, setelah ini jangan pernah temuin orang itu sendiri. Kalo dia maksa inget teriakin nama abang. Sekarang Lo harus fokus sama diri lo sama Mama, ngerti?"

"Abang?"

Devan tersenyum lebar, "Biar abang urus diri abang sendiri."




TBC

halooo....

Makin gaje engga, sebenernya mau tamat si ini cerita.

engga terlalu dark kan?

sebenernya aku mau bilang, jujur buat lanjut cerita ini Raehua kaya kebawa masuk, jadi kalo nulis cerita ini itu kaya kebawa sedih di real life, weh curhat wkwkwk

selamat menunggu ceruta yang hampir tamat ini.

Salam hangat,

Raehuali





DeRe & Nova [END]Where stories live. Discover now