1

115 21 0
                                    

Oh hari ini adalah hari ulangtahun si kembar dan hari ini adalah hari pertama Nova tidak bisa merayakan ulangtahun si kembar. Dalam lubuk hati Nova merasa bersalah pada kedua anaknya itu. Usia mereka kini sudah menginjak 16 tahun, usia dewasa untuk mengerti bahwa ulangtahun hanya sekedar pengingat kematian sudah dekat. Tapi Nova tetap saja merasa bersalah.

Ia menatap ponselnya, mengetikkan kalimat yang sudah ia yakini sebagai chat terpanjangnya.



Revan, Devan.

Selamat ulangtahun, semoga kalian menjadi anak-anak yang hebat. Tidak perlu menjadi orang yang kaya raya seperti yang Abang bilang. Cukup menjadi orang bahagia dan saling melindungi itu yang Mama harapkan. Maaf Mama belum bisa pulang. Acaranya ditambah satu minggu. Mama minta maaf yaaa😭

Mama janji setelah satu minggu Mama akan mengajak kalian liburan. Oke?

Abang jangan suka jahil ke adek yaa, adeknya dijaga.

Adek juga jangan abisin coklat Abang, inget gigi kamu abis dicabut satu. Jagain Abang juga ya biar Abang engga babak belur lagi.

Mama sayang kalian, DeRe❤️




Setelah mengirim pesan itu, Nova menatap pria didepannya. Mata itu masih sama, hanya saja Nova tidak tau apakah pria itu bisa mengenalnya atau tidak.

Tidak ada yang berani bersuara. Baik Nova maupun Rigel. 16 tahun. Mereka tidak bertemu. Nova tersenyum, ia sudah memaafkan kesalahan pria didepannya ini. Toh ia malas menyimpan dendam.

"Anda harus banyak istirahat, sel tumor di dalam otak anda sudah mulai menyebar."

Nova terdiam, kenapa bisa rumah sakit yang ia datangi justru membawanya lagi berhadapan dengan pria ini.

"Berapa lama lagi?"

Pria itu tertegun, wajah datar Nova membuatnya merasa hawa familiar. Bukan, bahkan sejak awal Nova memasuki ruangannya ia merasa sangat familiar dengan pasiennya itu.

"Kalau kau melakukan pengobatan kira-kira 1 tahun."

"1 tahun? Berarti usia Devan Revan 17 tahun. Usia legal." Gumam Nova

"Maksudnya?"

Nova menggeleng, "Bukan apa-apa dokter. Saya akan mengikuti segala pengobatan. Ada anak-anak saya yang membutuhkan saya, bukankah saya tidak boleh menyerah?" Ucapnya tegas, padahal kini pikirannya sedang berkecamuk.

Rigel tersenyum, entah kenapa ia senang dengan sikap optimis wanita di depannya. "Benar, anda tidak boleh menyerah."

Nova berdiri dari duduknya, "Kalau begitu saya permisi dok, ada banyak hal yang harus saya siapkan."

Rigel menatap Nova yang kini sudah menghilang di balik pintu ruangannya. Entah kenapa rasa kehilangan terasa saat Nova membuka pintu dan menghilang.

"Gila! Gue kenapa sih!"







Di lobi rumah sakit, Nova memijat dahinya. Sudah 2 bulan ini ia merasakan pusing yang amat sakit. Tumor? Nova tersenyum miris, kenapa bisa ada di kepalanya sih!

Tanpa berucap, Nova menghubungi seseorang yang sedari tadi ia pikirkan. Di dering ketiga ada sapaan lembut di sebrang sana.

"Gue bakal perjuangin warisan itu mas, sekarang gue izinin lo buat bawa surat wasiat itu ke pengadilan. Langsung buat warisan itu atas nama Devan sama Revan. Kali ini gue mohon sama mas. Dapetin warisan itu buat gue."

Setelahnya Nova menutup panggilan itu. Ia terduduk, masih di lobi rumah sakit. Ia harus mulai menyiapkan segala kebutuhan si kembar yang akan hidup tanpa dirinya.




..................................


"Van"

Dua remaja menengok secara bersamaan, sedangkan yang memanggil berdecak kagum. Ia lupa kalau dua remaja yang sedang bersamanya itu punya panggilan yang  sama.

"Maksud gue Revan"

Devan mengangguk paham dan melanjutkan makan bakso yang tadi sempat tertunda.

"Ada apa?" Tanya Revan pada Bindra.

"Lo ada rencana engga Minggu depan?"

"Ada" bukan Revan yang menjawab tapi Devan si kakak kembar Revan.

"Sorry banget kalo Lo mau ngajakin gue Minggu depan. Tapi kaya yang udah dibilang abang gue. Gue ada rencana"

"Rencana apaan? Lo kan jones yang ngintilin abang lo"

"Emang mingguan cuma bisa sama pacar? Sama keluarga juga bisa kali!" Rasanya Devan tidak terima Revan diejek seperti itu oleh Bindra. Bukan kenapa, tapi ia keberatan dengan ucapan Bindra. Ia tidak keberatan mau Revan mengintilinya 24 jam, yang penting adiknya senang.

"Iya deh iyaa, padahal mau gue ajakin ketemu sepupu gue. Minta dikenalin ke lo."

"Revan masih kecil"

Bindra melotot kan matanya, "Helloo, umur kita sama btw"

Revan terkekeh, mungkin bagi Devan ia memang masih kecil. Tak apa asal ia tidak perlu mengeluarkan uang seperti saat ini. Makan bakso dengan uang Devan. Abangnya sih cuma bilang 'gue abang lo'.

Lucu, tapi memang seperti itu. Mamanya memang mengajarkan agar Devan menjadi sosok rumah yang semestinya. Seperti selalu melindungi Revan kalau ada orang yang berniat jahat? Mungkin. Karena hal itu tidak jarang, sifat Revan yang selalu menerima siapa saja kadang membuat Devan berulangkali memperingatkan orang-orang yang mendekati adiknya itu dengan tujuan 'memanfaatkan'.

Ah berpikir tentang Mama, Revan jadi kangen Nova. Setelah chat panjang dari Mamanya entah kenapa firasat Revan tidak enak. Apa karena ini pertama kalinya Revan ditinggal sendirian dengan abangnya untuk waktu yang lama?

Ia menghela nafas gusar, menghubungi om Dean juga tidak membuahkan hasil. Kakak sahabat Mamanya malah seolah-olah menghindar dari dia.

"Kepikiran Mama?"

Revan menatap manik abangnya, ada raut lembut disana. Revan tersenyum, ia tau abangnya itu adalah orang yang peka tapi ia tetap saja menyembunyikan rasa rindunya.

"Satu minggu kok, kaya selamanya aja. Tenang ada Abang. Mama pasti juga lagi kangen kita jadi doain aja Mama disana sehat."

Revan mengangguk, tatapannya kini beralih ke mangkuk bakso yang kini tidak ada isinya. "omong-omong bang, bakso gue kabur kemana ya?"

"Si curut Bindra! Lo makan bakso punya adek gue!"









TBC

Sorry kalau misalnya salah kata ataupun salah dalam deskripsi penyakit.

Raehua cuma modal tanya sana-sini dan modal internet.

Kalau ada salah kata mohon kasih tahu Raehua yaa biar Raehua revisi🙏

Terimakasih,

Best regard.

Rae Hua Li

花小莉

DeRe & Nova [END]Where stories live. Discover now