10. Penyesalan

7 3 1
                                    

Voted, comment, and share!
Follow juga dungs!

▪■Selamat Membaca!■▪

"Apa yang kau lakukan?!" wanita itu berteriak nyaring.

"Ma-maafkan aku," balas laki-laki kecil itu.

Wanita itu mengerang frustasi. Menatap guci kesayangannya telah menjadi puing kecil. "Ganti semua kerusakan ini!" serunya berteriak.

"Tetapi aku tidak mempunyai uang, Bu."

"Aku tidak mau tahu---"

"Ada apa?" sosok remaja laki-laki mulai tertarik dengan perdebatan itu.

Wanita itu, panggil saja Selly. Dia mendecih sarkas. Menatap remaja itu dengan tatapan merendahkan. "Apa kamu punya uang?" sarkasnya setelah melihat pakaian diselimuti lumpur yang remaja itu kenakan sekarang.

"Kakak, sudahlah. Kakak tidak perlu memba---"

"Stts! Diamlah, lebih baik kamu tunggu di sana," potong remaja itu.

Laki-laki kecil itu mengangguk, menuruti perintahnya. Menunduk dalam dengan tangan memilin, berjalan ragu menuju bangku dengan perasaan berkecamuk. Dia hanya bisa melihat dari jauh. Merasa bersalah tentu.

Selly menyunggingkan senyum asimetrisnya. Bersedekap dada sembari menukikkan alis tajam. "Guci itu, aku membelinya di Kanada. Kamu bisa membayarnya, 'kan?" tanyanya bermaksud menghina.

Remaja itu tersenyum tipis. Merogoh saku, menunjukkan ponselnya. Memperlihatkan sebuah vidio singkat. "Aku memang tidak mempunyai uang. Tapi setidaknya, aku masih punya keadilan."

Selly terkejut, menutup mulutnya selepas melihat vidio itu. "HAPUS SEKARANG!!"

Remaja itu tersenyum, menggeleng perlahan. "Tentu, tetapi apa balasannya?" ucapnya.

Selly mengepalkan tangannya. "Kamu tidak perlu membayarnya!" jawabnya penuh penekanan.

"Deal! Akan aku hapus ini dan aku pergi."

"Siapa namamu anak sialan?!" maki Selly sebelum sesaat remaja itu pergi.

Remaja itu kembali tersenyum. "Jika takdir mempertemukan kita kembali. Panggil aku, Bintang!" ucapnya kemudian pergi, meninggalkan amarah yang menggebu pada Selly.
.
.
.
.
.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Bintang, berjalan menghampiri anak itu.

Anak itu tersenyum kecut, menatap lawan bicaranya. "Percuma saja, aku hanya anak yatim piatu yang tidak mempunyai orang untuk membelaku. Jika aku melawan, maka aku akan mati. Hidup selalu berjalan seperti itu, 'kan?"

Bintang berjongkok, menggenggam tangan kecilnya. Tersenyum tulus. "Benar, kamu benar sekali. Biar saja orang berlaku tidak adil. Biarkan yang tidak bersalah tetap dihukum," ucapnya dengan tenang.

Anak itu terkejut, menghempaskan tangannya segera. Mengalihkan pandangannya, enggan menatap Bintang. "Kenapa kamu berbicara seperti itu?"

Bintang menyatukan alisnya. "Bukan kah kamu sendiri yang bilang tadi?"

Anak kecil itu hanya diam, memikirkan kebodohannya sendiri. Membuat Bintang tersenyum. "Beruntung aku melihat kejadian yang sebenarnya dan merekam itu. Tidak perduli kamu orang yang tidak memiliki harta, tetapi masalah keadilan tetap nomor satu."

AKSARA: "The Adventure of Writter"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang