22. Insiden

Mulai dari awal
                                    

Mereka tiba di lantai empat. Saat baru keluar dari lift, di jarak sekian meter hadir seorang pria berperawakan tinggi dan kekar sedang berdiri. Ia mendatangi Amora dengan senyuman.

"Amora, mari ikut saya." Demian berujar.

Amora mengangguk samar. Ia dan Demian berjalan lebih cepat dari para pengawal tadi. Tujuan mereka tentunya ke kamar rawat Dae.

Sampai di tempat, Demian membukakan pintu kamar dan mempersilakan Amora masuk sendiri. Ia memberanikan diri untuk masuk walau tangannya mulai tremor. Melihat Dae terbaring di ranjang pasien berhasil bikin Amora meringis kecil.

Dae semula tidur. Kala Amora datang, dia langsung buka mata dan memperlihatkan senyum sangat-sangat tipis di bibir.

"Dae," sapa Amora seraya berhenti tepat di samping kanan ranjang.

"Wife," gumam Dae. "Baru banget sampe? Pusing, enggak?"

Amora menggeleng. Dae bertanya seperti itu karena kemarin saat terbang dari Malverone ke Italia, Amora langsung tumbang dan pusing berkepanjangan. Dia mengalami jet lag atau mabuk pascaterbang.

Dae segera menghubungi Demian yang menunggu di luar kamar. Hanya dalam dering ke tiga, panggilannya langsung terhubung.

"Rumah sakit ini mau dituntut, ya?" ceplos Dae dan otomatis Amora menegang mendengar nada geram lelaki itu.

"Kenapa, Dae?" Demian kaget bercampur bingung. Di luar sana, dia menatap pintu kamar dan bersiap untuk masuk kalau-kalau Dae mengamuk.

Dae menyahut kesal, "Enggak ada tempat duduk buat istri saya."

Maka dari itu, Demian cepat-cepat melapor pada pihak rumah sakit untuk sekilat mungkin menyediakan kursi tinggi dan dibawa ke kamar rawat Dae. Di kamar itu hanya ada sofa. Dae tidak mau Amora duduk di sofa yang pendek dan berposisi jauh dari ranjang.

"Payah. Enggak ada persiapannya sama sekali," cetus Dae sembari menaruh ponsel di samping badannya.

Amora merasa tak enak hati pada Demian yang kena marah Dae. Ia berkata, "Dae, aku enggak apa-apa berdiri. Nanti kan bisa duduk di sofa itu. Kamu jangan marahin orang lain lagi, ya? Kasian mereka."

Dae melirik tajam dan tidak mau mengindahkan ucapan Amora. Wajahnya ditekuk pertanda Dae tak menyukai momen ini. Perkara tempat duduk membuatnya ingin menghancurkan dunia.

Kurang dari sepuluh menit, pintu kamar terbuka setelah sebelumnya diketuk. Dua orang pihak rumah sakit masuk membawa kursi tinggi dengan alas yang nyaman buat bokong. Amora berucap terima masih, sedangkan Dae melotot pada dua orang itu.

"Udah, kalian boleh lanjutin kerjaan lain lagi." Amora berujar sopan. "Maaf, ya, bikin repot. Terima kasih udah mau bawain kursinya."

"Mereka yang bikin repot," sambar Dae yang bikin dua cowok itu makin merasa nyawanya terancam.

Amora memberi kode pada mereka buat keluar tanpa mendengarkan omongan Dae. Mereka membungkuk, lalu pergi. Usai terbebas dari kamar Dae, mereka kompak membuang napas lega dan melangkah lebar-lebar ke lift.

Saking terburu-burunya langkah kaki mereka, Demian sampai tidak sempat mengucapkan terima kasih.

Sesudah itu semua, Amora pun naik ke kursi. Kursinya sudah dipastikan bersih tanpa adanya setitik noda di sana. Bahkan diam-diam mata Dae bergerak memindai kursi untuk memastikan benda itu tidak bernoda.

"Kamu udah makan?" tanya Amora, berusaha memecah keheningan.

Dae mengangguk. Ia sudah sarapan meski harus terjadi drama karena menu yang datang salah. Dae mau teh hangat dengan kehangatan yang sama seperti buatan Amora, namun yang datang tidak sama persis. Cuma beda sedikit.

ALAÏA 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang