Part 17: Mahes si moody-an dan labil

Start from the beginning
                                    

"Muka gue nggak BPOM banget anjing!" hardik Nindi pada wajahnya Sendiri.

"Yang lain pada kerja bakti, lo malah enak-enakan tidur di kelas!"

Mata Nindi melotot pada Tejo, tak terima atas tuduhan yang dilayangkan Tejo." Jaga muncung lo ya, sikat WC! Tugas gue bersihin kelas, mana gue sendirian lagi. Ya, apa salahnya kalau gue tidur? Udah selesai juga!"

"Salah lo adalah lo ngigok! Menggoda kita untuk mengabadikan."

Dirinya mengigau? Apa mimpi itu terlalu mengusiknya? Isi kepalanya terlalu banyak menyimpan Mahes, hingga malam pun sibuk memikirkannya, alih-alih tidur, kemudian di pagi harinya, tertidur dengan memimpikan Mahes. Kalau begini terus, kapan move on-nya?

Sebelum mengembalikan ponsel itu pada sang empunya, Nindi terlebih dulu menghapus foto-fotonya yang sehoror Genderuwo ini. Cari aman dulu.

"Nggak masalah dihapus, gue bisa mintak ke yang lain."

"Weh, nggak ngotak kalian! Gue sumpahin, pantat kalian tipis! Tepos!"
Alih-alih takut, teman-temannya justru kian menyaringkan tawa, membuatnya kesal bukan main.

Ia yakin, tak lama lagi aibnya akan tersebar seangkatan, dan viral.

Dengan ubun-ubun memanas, Nindi berdiri angkuh, merapikan rambut dan seragamnya. Lalu matanya mengedar mencari Radit. Parah, kalau memang Radit membiarkan mereka menjahili Nindi, Nindi pastikan dua minggu kedepan Nindi mogok ngomong.

Nindi memilih enyah dari hadapan mereka semua, sengaja membentur bahu letoy Tejo keras. Detik berikutnya, netranya menangkap sosok Radit dengan kaki dan tangan terikat tak berdaya menggunakan tali pramuka di depan papan tulis, serta keadaan mulut dilakban. Nindi meringis melihat Radit meronta. Seniat itu mereka menjahilinya? Sampai Radit juga ikut jadi korban.

"Gue santet satu-satu lo semua."

Gegas Nindi melepas tali yang mengikat kaki dan tangan Radit, begitu lakban yang membungkam mulut Radit.

Terdengar hembusan napas lega dari Radit yang telah bebas."Lo nggak pa-pa?"

"Nggak pa-pa kok, cuman gondok!"

"Keluar yuk, gue mau ngomong serius."

Kelas ini tak aman bagi orang waras, bisa menyebabkan yang waras jadi ikut gila. Oleh karena ini, Nindi memilih menerima ajakan Radit. Kebetulan jam istirahat masih kurang beberapa jam lagi, jadi kantin dan halaman sekolah hanya diisi oleh tiga kelas yang melakukan kerja bakti. Kini mereka berdua menyusuri koridor, entah menuju ke mana.

"Ikut gue ke rumah Abel yuk, Nin." Kalimat Radit membuat Nindi menyudutkan alis.

Baru ia sadari, selama hampir tiga tahun, ia tak pernah tahu alamat rumah Abel, atau setidaknya nama lokasinya. Ah, mungkin karena ia kurang dekat dengan Abel.

"Lo tahu alamatnya?"

"Udah dia kasih."

"Ngapain emang?"

"Penasaran aja, kayaknya temen dekatnya juga nggak tahu alamat rumah dia."

Entah mengapa jadi bimbang, firasatnya mengatakan bahwa sebaiknya tidak usah pergi, namun menolak ajakan Radit adalah pilihan yang salah, sebab ... dia sahabat.

"Kapan?"

"Malem, jam 7."

"Kenapa malem?"

"Abel yang mintak."

"Oke." Ragu-ragu Nindi menjawabnya, jujur, agak gamang. Ia berpikir, Abel itu memiliki citra buruk, nan misterius, ada aura-aura menyeramkan dibalik keimutannya.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now