[LARANGAN]

84 7 0
                                    

⬇️⬇️⬇️
Hari liburan yang direncanakan telah tiba. Semua sudah menyiapkan keperluannya masing-masing. Namun, ada beberapa larangan untuk membawa barang. Dari yang mereka sebutkan keperluan itu.

Yang pertama, bagi siapapun baik perempuan maupun laki-laki. Dilarang untuk membawa rokok dan obat-obatan terlarang. Kalian bisa dengan sendirinya mendeskripsikan, apa alasan larangan tersebut.

Kedua, mereka dilarang membawa handphone. Mustahil bukan, untuk larangan yang kedua. Jelas mereka melakukan protes. Apalagi diumumkan sehari sebelum hari H. Tidak ada persiapan, hanya bisa menerima atau menolak, ikut atau tidak.

Bayangkan saja, semua sudah dipersiapkan dengan matang, jauh-jauh hari. Mereka akan bersenang-senang memang, dan akan mengabadikan momen-momen itu. Handphone jelas tidak akan bisa lepas dari genggaman. Layaknya sumber kehidupan mereka.

Tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan. Pak Iyan menyerukan sebuah larangan yang cukup sulit dilakukan. Seperempat dari mereka menyetujui larangan pertama. Mereka mengganggap mudah larangan itu, terlebih bagi siswa perempuan.

Namun, hampir sebagian kelas, dengan protes menolak larangan kedua. Bagi mereka, handphone tidak bisa dijauhkan dari dirinya. Handphone bagaikan magnet yang mampu menarik mereka, hingga tidak bisa lepas darinya.

Entah bagaimana pak Iyan merayu mereka. Akhirnya mereka mau untuk menuruti larangan kedua. Meskipun tampak wajah-wajah tertekan disana.

Sebenarnya tujuan pak Iyan baik. Dia ingin membuat siswanya, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan dunia nyatanya. Bukan hanya didunia maya saja mereka bisa bahagia.

Mereka harus bisa menikmati hari-hari yang begitu berharga. Dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang baik, sesama teman sekelas. Saling peduli dan menghargai orang lain. Secara nyata bukan virtual.

Pak Iyan sudah mengamati, betapa mirisnya kelakuan beberapa siswanya. Seperti contoh, ada musibah yang sedang dialami temannya. Kemudian difoto, diunggah dimedia sosial. Saling berlempar kata-kata simpati, seakan peduli.

Akan tetapi, itu hanya terjadi didunia maya. Aslinya mereka yang mengatakan itu, tidak peduli sama sekali. Rasa empati dan simpatipun terkadang tidak ada. Mereka hanya mementingkan sensasi semata.

"Ayoo, semuanya berkumpul, jangan jauh-jauh. Jangan berkeliaran kemana-manaa!. Sebentar lagi kita berangkat!!." Seru pak Iyan mengkondisikan siswanya.

"Perhatikan barang-barang kalian!, Jangan sampai ada yang ketinggalan!." Tegurnya dengan ramah.

Suara pak Iyan seperti hembusan angin. Setelah mengatakan nasehat dan menyeru kita, dia sudah tidak ada lagi didepan mata kita. Sudah menghampiri siswa-siswinya yang lain.

"Sasya, Tika. Jangan bawa handphone!!!." Ucap pak Iyan menghampiri rombongan Sasya.

"Nggak, pakk. Ini, cuma bawa kamera doang." Sahut Tika mengangkat kamera yang digantungnya dileher.

"Iya, pak. Kita nggak bawa handphone." Sasya membenarkan ucapan Tika.

"Awass, kalo ketauan!. Bapak cemplungin kelaut!!." Ancamnya dengan wajah seram yang terkesan dibuat-buat.

Sasya dan Tika hanya tersenyum ringan. Ayolah, wajah pria yang ada dihadapan mereka ini. Sangat tidak menggetarkan rasa takut mereka. Apalagi dengan ancaman itu.

Demi untuk menghargai guru dan orang yang lebih tua. Mereka mengalah dan mendengarkan.

"Nanaa, periksa lagi barang-barang kamu. Nanti ada yang ketinggalan. Liat lagi, apa yang dibawa." Ujar pak Iyan menunjuk-nunjuk kopernya.

"Hmm, semuanya udah lengkap deh pak. Baju, bikini, daleman, pembalut buat jaga-jaga. Oh ya, make-up juga udah. Apalagi ya, itu doang sih pak. Cuma, tinggal hp doang pak." Balas Nana yang juga mengingatkan barang bawaannya.

"Nggak usah disebutin satu-satu juga kali Nan. Ampe keluar pembalut. Ha ha ha." Tika melirik Nana dengan tertawa lucu.

"Yahh, bapaknya nanyaa." Nana menatap pak Iyan.

"Jangan terlalu jujur Nan. Wkwk." Timpal Sasya ikut tertawa.

Pak Iyan yang tadinya sibuk bertanya. Sekarang diam ditempat. Bingung. Pertanyaannya yang salah atau jawaban Nana yang terlalu benar.

"Oh, em. Ekhem, hp emang nggak boleh. Kan udah diganti sama kamera." Sahut pak Iyan yang sepertinya canggung.

"Ya, sudah. Siap-siap jangan keliaran lagi." Pak Iyan melangkah menjauh. Menemui siswa lainnya.

Pak Iyan memperhatikan sekelilingnya, seperti ada yang kurang. Dia menelusuri kembali, satu persatu. Benar. Rombongan Adit tidak menampakkan batang hidungnya. Terlambat.

Mentang-mentang waktu masih setengah jam lagi. Mereka masih bisa santai-santai. Dia menghampiri miss Amel, hendak meminjam pengeras suara.

Setelah dapat, dia mulai memanggil-manggil Adit dan kawan-kawan. Bertanya kepada yang lain juga.

"Benar-benar, pak Iyan. Saking telitinya, dia tau sama anak yang belom dateng. Gua aja ngiranya semua udah lengkap njir. SECARA UDAH RAME GINI." Tika menggeleng pelan.

"Iyalah, harus teliti. Takutnya bukan barang yang ketinggalan. Tapi orangnya, ha ha ha." Sasya menatap pak Iyan yang menyibukkan diri.

"Guru gini, bagus nih." Tika mengangguk sembari menunjuk pak Iyan.

"Iya," Sasya juga mengangguk.

Mereka berdua memperhatikan apa yang dilakukan pak Iyan. Juga mengamati teman-temannya yang lain.

Nana, jangan kalian pikir dia tidak bersama mereka. Kini Nana masih sibuk memperhatikan barang-barangnya. Sasya bingung, berapa hari lalu dia dan Tika sudah membantunya mengemasi barang.

Sekarang, masih saja memperhitungkan kelengkapan pernak-perniknya. Sasya saja hanya butuh semalam, untuk mengemasi aneka kebutuhannya. Tika juga sama, tidak ambil pusing masalah itu.

Mereka berdua, Sasya dan Tika beranggapan. Selagi mereka masih hidup berdampingan dengan manusia lain. Semua kehidupan masih aman.

Selang beberapa menit mereka mengamati sekitar, datanglah Dimas. Sang ketua osis dan perangkatnya, juga turut serta dalam perjalanan ini.

"Nih," ujarnya menyodorkan dua minuman kaleng.

"Gue, mau." Sahut Tika mengambil salah satu dan langsung meminumnyanya.

"Lo?," tanya Dimas pada Sasya yang diam saja.

"Nggak, gue nggak haus. Makasih tawarannya." Sasya menolak dengan senyuman. Kemudian matanya menatap Nana yang sedang sibuk.

"Nan, Lo mau minum?." Tawarnya pada Nana.

"Ah, boleh tuh."

Tanpa pikir panjang, Sasya langsung mengambil minuman dari tangan Dimas. Kemudian memberikannya pada Nana.

"Nih,"

"Nih,"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©️

𝕸𝖆𝖘𝖎𝖍 𝕬𝖉𝖆 𝕬𝖐𝖚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang