5.

131K 7.6K 600
                                    

dor.

Pukul setengah sembilan malam dan gadis yang sudah satu bulan lebih tinggal di apartemennya belum juga pulang. Rayner sudah berkali-kali mencoba menghubungi Rain, tapi ponsel gadis itu tidak aktif.

Tadi siang, Rain izin main bersama kedua temannya dan Rayner memperbolehkannya. Rain tidak bilang ingin pergi kemana. Setelah mendapat izin, gadis itu langsung berlari riang menuju teman-temannya.

Sekarang Rayner menyesal membiarkan gadis itu pergi. Ia mengusap kasar wajahnya dan sesekali mengacak rambutnya kesal. Kalaupun Rayner berusaha mencari, ia tidak tahu ingin mencari kemana. Jakarta itu luas.

"Kemana sih, Rain." gumam Rayner sambil terus berusaha menghubungi Rain.

Pukul sembilan kurang lima menit, pintu apartemen terbuka. Rayner segera menuju ke sana dan terkejut melihat penampilan Rain.

"Hiks, Ray." Rain melangkah pelan menuju Rayner. "Hiks, jatoh." Rain menunjuk luka di lutut dan betisnya.

"Berdarah, Ray, sakit." Rain mengusap pipinya dengan punggung tangan. "Perih, Ray. Ke-kenapa apartemen lo ga di de-deket lift sih? Besok pindah ke deket lift ya."

Rayner menggeleng heran dengan ucapan aneh Rain. Ia meraih tas gadis itu, kemudian menuntunnya ke ruang tamu.

"Aduh! Huee, gendong, Ray." Rain merentangkan tangannya dengan wajah cemberut. "Gue, capek. Capek main. Capek jalan dari depan ke lift sambil nahan perih, terus pas udah naik, gue harus jalan lagi ke unit apartemen. Gendong ya, gendoongg."

Tanpa protes, Rayner menggendong Rain hati-hati. Ini pertama kalinya Rayner mengangkat tubuh Rain dan ternyata gadis ini ringan sekali. Pantas saja menjadi flyer.

"Huh. Tadi gue ke mall sama Leya sama Rere." Rain menarik terlebih dahulu cairan hidungnya. Gadis dengan seragam yang sedikit kotor itu memperhatikan Rayner yang melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Kita jalan-jalan, main, makan. Hiks. Terus gue bilang sama mereka, ja-jangan balik malem-malem nanti Rain diomelin Rayner, tapi mereka malah ketawa terus ngatain gue bucin."

Mata Rain terus mengikuti gerak-gerik Rayner, mulai dari meletakan sepatunya di ruangan khusus sepatu, mengambil kain kecil dan air, dan kotak p3k.

"Terus Leya malah ngajak gue ke Baskin. Siapa yang bakal nolak Baskin Ray?!" Rain menaikan nada bicaranya, karena Rayner masih di dapur.

Tidak lama Rayner kembali berjongkok di hadapan Rain dengan barang-barang yang ia bawa. "Jangan marahin gue ya. Akhirnya gue lupa waktu dan panik pas tau udah jam delapan. Gue buru-buru pulang dianter Rere sama Leya."

"Aw, pelan-pelan, Ray!" Rain merengut dan tangannya menghalangi luka di lututnya.

"Ini udah pelan, Rain." kata Rayner lembut.

Rain akhirnya membiarkan Rayner membersihkan dan mengobati lukanya. "Pas udah sampe depan gedung, gue dadah-dadah. Terus pas balik badan gue malah nginjek tali sepatu gue sendiri. Jatoh deh. Ya ampun gue tersiksa pas jalan. Mana hp gue mati, jadi gabisa telpon lo."

Rayner masih diam, ia fokus mengobati betis Rain. Kulit Rain benar-benar lembut dan sayang sekali kini dihiasi luka.

"Rayner jangan marah."

"Ngga."

"Boong."

"Bener."

"Singkat banget. Nanti gue bilangin Bunda nih, nanti lo digil—"

"Rain." panggil Rayner setelah selesai mengobati kaki Rain.

Laki-laki duduk di sebelah Rain lalu tiba-tiba memeluk pinggang gadis itu dan kepalanya diletakkan di bahu Rain. Rain membeku dengan detak jantung yang begitu cepat.

Rayner and RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang