[ DBW-2:Rindu ]

168 89 300
                                    

Percikan bintang di atas sana, menyuratkan rindu yang tak bersuara

〜✧*✧〜

Rea

Aku berjalan menyusuri koridor kelas XI dengan langkah lebar. Mengukur tiap ubin yang kuinjak dengan semangat. Wangi embun Masi tercium menyatu dengan wangi rumput yang segar. Langit diatas sana masi sedikit mengabu menandakan aku datang terlalu pagi hari ini.

Sambil menyesap susu coklat kemasan aku bertukar pesan dengan Windu. Windu sedikit berkata konyol di pesannya membuat tawa ku lepas dari ujung bibir.

Seperti nya aku begitu fokus pada Windu yang ada di gawai, hingga melupakan langkah kaki yang kini membawa tubuh ku hampir menabrak pilar beton yang ada di beranda kelas. Untunglah ada satu tangan menahan laju kening ku dan membuat nya tak jadi mendarat mulus di permukaan pilar.

"Jalan jangan sambil main handphone, Rea." Tegur Galih

"Terimakasih, Galih" Ucapku sambil berlalu meninggalkan Galih.

Galih terdengar menghela nafas beratnya di belakang sana, aku tau Galih pasti mencoba memaklumi setiap gerik yang ku lakukan.

"Simpan dulu handphone nya, Rea." Kini Galih telah bersisian dengan ku sambil menatap datar pada benda pipih yang ada di genggaman ku.

"Aku gamau"

"Susah memang, bicara dengan perempuan yang berkepala batu kaya kamu"

"Jangan dibuat susah, Galih. Di maklumi aja. Pasti jadi mudah" Elak ku sambil tertawa kecil

Galih hanya mengangguk pelan. Suara bariton nya tidak lagi mengusik telinga ku. Ku lirik sekilas Pria populer di sekolahku ini, entah mengapa aku selalu dapat melihat kekosongan yang terlukis jelas dari netranya. Wajahnya selalu dingin seperti seseorang yang tak pernah sentuh kehangatan.

"Galih, ada masalah?" Dasar Rea. Kenapa bibirmu tak bisa membendung pertanyaan itu?.

"Ga ada. Mungkin kepala kamu yang bermasalah Rea." Jawab Galih sambil tersenyum simpul.

Galih tipikal laki-laki yang jarang tersenyum tapi sekali nya tersenyum, semua mata tak akan bisa lepas dari wajah pria ini. Termasuk aku.

"Jangan senyum kalau terpaksa, Galih. Kamu keliatan seperti menyakiti diri sendiri"

"Rea, ga masalah kalau tersenyum untuk orang lain. Karena seenggaknya aku sudah melakukan kebaikan kecil pagi ini"

Aku bungkam. Kini langkah kami terhenti di depan kelas. Aku masuk terlebih dulu dibanding Galih dan menyimpan tas ku diatas meja. Waktu terasa begitu cepat hari ini, mungkin karena tak ada satupun pelajaran yang menyisipkan perhitungan di dalamnya.

"Rea, mau ikut nonton ga?" Zizi menghampiri ku yang tengah bersiap untuk pulang.

"Untuk hari ini kayanya aku gabisa. Kalian duluan aja, jangan lupa ceritain gimana filmnya ke aku ya!" Ujar ku sambil menarik lengkung sabit di bibir.

"Yah, padahal lebih seru kalau ada kamu" Nada suara Zizi terdengar sedikit kecewa. Sebenarnya aku merasa bersalah dengan Zizi dan yang lain, namun masalah hati tidak bisa diundur.

Aku memutuskan untuk menanggalkan kesempatan bersenang-senang dengan para sahabat dan memilih untuk menunggu pemilik hati di halte depan sekolahku.

Lalu lalang kendaraan mewarnai keheningan diri ku disini. Angin yang meniupkan debu dijalan, tak ayal menerpa wajah ku. menciptakan warna kemerahan di permukaan kulit dan netraku.

Distance between WINDU [Hiatus]Där berättelser lever. Upptäck nu