Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang

Start from the beginning
                                    

Radit punya hati yang lembut, gampang tersentuh hanya dengan melihat seseorang menitihkan air mata. Radit punya empati yang tinggi, hingga ketika seseorang menceritakan peristiwa atau keadaannya yang menyedihkan, ia seolah ikut menyelami kesedihan itu. Dengan segenap hati yang sama teririsnya, jiwa yang juga hancur, mata Radit tak berdusta bahwa ia juga menangis dalam diam.

"Lo boleh bayangin seburuk apa gue. Lo boleh manggil gue jalang, wanita pemuas nafsu, PSK, atau apa pun yang pantes buat gue."

Mendengarnya menghina dirinya sendiri, seolah dia membenci dirinya sendiri, membuat Radit menyadari bahwa, Abel memang tidak pernah ingin di posisinya sekarang. Dia benar terpaksa, dia benar dipaksa oleh ... ayah? Sebutan ayah tak pantas disematkan dalam diri pria itu, lalu apa? Iblis? Pria berengsek?

"Jangan ngomongin ini di sini Bel, semua orang bakal tahu," lirih Radit dengan tangan menyeka air mata Abel.

"Gue udah nggak peduli." Abel menggeleng lemah, tangan perempuan itu meraih tangan Radit untuk ia genggam. Dingin tangannya dapat ia rasa, seperti setrum menjalar. "Gue bahkan pengen mereka tahu, gue pengen keluar dari sekolah ini, karena gue merasa nggak pantes sekolah lagi. Pendidikan gue bahkan nggak bakal merubah masa depan gue yang mudah banget ditebak."

Sejenak, pikirannya kosong, memikirkan satu solusi otaknya menolak kuat. Walau apa yang dikatakan dan disembunyikan Abel pada akhirnya akan terungkap, setidaknya rahasianya tertunda untuk diketahui khalayak ramai, beri sedikit banyak waktu untuk menundanya, atau semoga semesta berbaik hati dengan menjadikan rahasia Abel sebagai peristiwa yang tak akan diketahui siapa pun, kecuali yang terlibat.

Radit kelimpungan untuk menenangkan Abel, sementara sekitar telah berpusat pada mereka. Tak masalah, bila mereka menuding Radit akar dari tangis Abel, sungguh! Asal jangan dulu mereka tahu bangkai yang disembunyikan Abel.

"Bahkan gue mau Nindi nyebarin video gue, gue bisa ngaku sekarang juga."

Ini bukan Abel yang jemawa, bukan dia yang congkak. Ini sisi ringkih paling nyata dari seorang Abel yang selalu bertingkah antagonis, atau wataknya tak sepenuhnya seburuk itu. Ini hanya upaya menutupi hancurnya yang sudah sejak dulu.

"Jangan ngomong gitu ah! Nggak lucu! "

"Lo tahu? Nggak enak banget nyimpen rahasia, gue pengen bebas."

Jantungnya ikut sesak, ritmenya melonjak cepat. Sungguh, ini seperti berada di titik Malaikat Maut hendak mencabut nyawanya. Sakit sekali melihat seorang gadis histeris dan sibuk mengutuk dirinya sendiri.

"Gue takut. Gue nggak pengen hidup liar, tapi Ayah ---"

Sebelum kian menjalar ke mana-mana, sebelum perhatian orang-orang kian intens, Radit lebih dulu membekap mulut Abel, hingga yang tersisa hanya isakannya yang tertahan dan air matanya yang meluruh mengenai tangannya.

"Apa ayah selalu jadi momok ya? Lo takut ayah?"

Abel mengangguk cepat. Sejenak, ia mengingat masalahnya sendiri yang juga berhubungan dengan pria yang disebur 'ayah'. Senyum getir terpampang di bibirnya, menyiratkan luka yang sama seperti kepunyaan Abel. 

"Sama."

Terjadi keheningan beberapa saat, isakan Abel pun menyurut, yang tampak dari perempuan itu hanya alis yang menyudut. Entah, Abel masih berusaha menerka maksudnya atau dia terlalu tak percaya pada apa yang Radit cetuskan barusan. Sampai derap langkah seseorang mengisi keheningan ini, serta pertanyaan mengintimidasi yang terdengar setelahnya.

"Video apa? Rahasia apa? Ayah lo kenapa?" Misel hadir memecah kebisuan mereka, berubah jadi perasaan ketar-ketir, namun hal itu tak lantas membuat keduanya bersuara sejak kata terakhir yang diucapkan Radit. 

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now