08. Ujung Sementara dari Kegelapan

89 40 21
                                    

Air ini dingin, tapi tidak menyentuh kulitku---air ini tak membuatku basah. Bisa dibilang, kami seperti terbang, tapi kami tetap harus menahan napas karena tidak ada oksigen di sini. Walau airnya tidak menyentuh kulit dan membuat baju basah, gelembung-gelembung itu tetap keluar, memperjelas kami kalau kami memanglah sedang berenang.

Tidak sulit sama sekali. Di sini aku merasa lebih ringan, dan ketakutan yang tadi membuatku panik mulai mereda begitu aku melihat apa yang ada di dalam sini; ikan-ikan, batu kristal berbagai warna, dan kerang-kerang. Namun, tentu saja kami bukan sedang bermain. Adik-adik akan kehabisan napas jika aku egois, menginginkan lebih lama untuk mengeksplorasi lebih lanjut ada apa saja di sini.

Aku menunjuk ke atas, agar kami segera menyembulkan kepala untuk mengambil napas. Kami masih di dalam gua sekarang, juga, kami semakin jauh dari daratan. Begitu aku menoleh ke belakang, bayang-bayang itu seolah menunggu kami untuk kembali. Tentu saja aku takkan kembali ke sana! Itu berbahaya!

"Grill," panggil Teressa, suaranya terdengar lemah. Aku mengerti. Kami melewati banyak kesulitan untuk bisa menjauh dari desa. Kami juga tidak seharusnya memaksakan diri untuk terus berjalan kalau kami tahu, kami butuh istirahat.

Aku menarik kedua sudut bibir. "Sebentar lagi, Teressa."

Akhirnya, aku menyuruh adik-adik untuk bergenggaman tangan lebih erat, dan kami kembali mengayuh kaki, berenang kembali sampai di ujung-tempat kami keluar dari air, berharap setelahnya kami dapat istirahat dari segala yang sudah terjadi.

***

Mungkin sekitar enam menit kami menghabiskan tenaga untuk berenang, sekarang sampai juga di bebatuan---daratan yang aku harap. Ini masih di dalam gua, tapi samar-samar kami melihat cahaya yang memaksa masuk dari ujung sana. Masih sangat jauh.

Sangat jauh.

Gimmy Gimm tidak kuat menahan kantuk, matanya memerah dan tubuhnya demam. Aku tidak membawa obat, bahkan aku menduga bahwa kami tidak mungkin menemukan tabib di sekitar sini. Maka, aku hanya bisa beralih untuk menggendongnya, menyelimutinya dengan kain yang Chloe bawa agar tetap hangat.

Lindungi adik-adik.

Ayah, aku ragu. Apa aku bisa melarikan diri? Apa aku bisa melindungi adik-adikku?

Aku menoleh ke belakang, semuanya tampak lesu dan kuyu. Ingin memberi semangat pun, aku tidak bisa menyemangati diri sendiri. Apa yang bisa kulakukan agar mereka dapat ceria seperti hari-hari kemarin? Aku menggenggam tangan adik-adik, kami kemudian berjalan lagi menuju cahaya samar di depan. Aku berharap ini bukanlah halusinasi karena haus keinginan, aku harap apa yang akan kami temui di depan adalah jalan keluar.

Namun, sepertinya aku salah mengira. Cahaya itu memang ada, itu adalah jalan keluar---ujung dari gua yang kami masuki. Bau amis tercium begitu kami berjalan semakin dekat. Sangat bau, dan sesekali terdengar Geraman makhluk yang kami dengar di desa. Perasaanku mulai tidak enak, aku takut apa yang kami dapat di depan adalah apa yang aku takutkan sekarang.

"Grill," adikku menyahut lagi, Choirul. "Kita akan sampai, bukan?"

Aku menelan dahaga, rasa lapar tahunya datang. "Ya, sebentar lagi kita keluar." Dengan tenaga yang masih aku punya, aku ingin tidak tumbang lebih dulu. Kami kembali berjalan beriringan, sampai pada akhirnya di depan cahaya yang sudah mulai terang-ujung lorong ini.

Bukan rasa senang didapat. Bukan lega yang membuat kami menghela napas dan berucap syukur karena dapat keluar, alih-alih begitu, tapi kami sama-sama terkejut takut---tegang, membuat bulu kuduk meremang, melihat banyaknya makhluk itu berbaris memanjang. Begitu bau, dan berbadan besar, kuku-kukunya panjang membentuk sebilah pisau tajam.

The Brother's Gimm and The Cursed World: Escape [ REVISI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang