07. Melahap Kami dalam Mimpi Buruk

89 41 18
                                    

Maka setelah sepersekian detik aku memandanginya, Teressa akhirnya memejamkan mata dengan kedua tangan menjambak rambutnya sendiri. Apalagi ketika salah satu makhluk itu tiba-tiba muncul di depannya, sontak dia berteriak.

Aku bergegas bangun, mengambil pisau di lantai dan menusuk pelipisnya---membuat kepalanya mengeluarkan cairan hitam yang bau. Teriakan Teressa membuat makhluk lain yang sejenis dengan makhluk di depanku teralih. Mereka menghentikan aktivitasnya, berjalan dengan sempoyongan pada kami.

Makhluk itu hendak menerkam, tapi Ayah dengan kaki yang terluka mendorongnya hingga terjatuh dan menggelinding. Beliau berteriak dengan kencang, "LARI!!"

Suara makhluk itu menggeram, aku bangkit dengan adik-adik dan segera membuka pintu. Sempat menoleh ke belakang, melirik pada Ayah yang berusaha bangun untuk mengikuti dengan jalan yang terpincang-pincang. Kami naik tangga dengan susah payah, mengambil obor dan minyak berusaha membakar ruang bawah tanah. Untungnya Ayah bisa lolos dan kami berjalan keluar dari aula.

Sayangnya, begitu kami benar-benar sampai di luar, makhluk itu menjadi lebih banyak. Aku merasa putus asa. Tak pernah terbayangkan Cratirone menjadi seperti ini---bahkan banyak mayat tergeletak dengan badan yang sudah tak sempurna. Mungkin Ayah dan Ibu tak tahu kalau makhluk itu begitu agresif dengan suara, tapi aku tak dapat menahannya karena suara yang seolah tak dapat keluar karena lidah benar-benar membeku. Bahkan jika aku sadar dengan suasana yang mengerikan ini, aku bisa saja pingsan. Namun, aku menahannya. Membuat kakiku gemetar ketika terdiam, aku bisa jatuh kapan saja.

Kami berlari menjauh dari aula, mencoba menghindar dari makhluk-makhluk tersebut dengan sebilah pisau dan tombak. Biarkan kami disebut pembunuh, karena bagaimanapun sekarang kami tak memikirkan asas kewarasan karena menusuk makhluk itu yang mendekat secara membabi buta. Bahkan saat tangan Ayah penuh cairan hitam, kami tak berhenti untuk menebas mereka dengan pisau di tangan.

Tepat saat aula mulai terbakar seluruhnya, sesuatu terbang di atas langit. Tubuhnya hitam, bentuknya seperti kuda yang begitu kurus hingga nampak hanya tulang-belulang, paruhnya panjang dengan mata merah dan bersuara seperti gagak. Kami lengah, Gimmy berhasil ditarik oleh salah satu makhluk hingga terjatuh---dia bergerak begitu cepat, refleks aku berusaha menariknya kembali, tapi makhluk yang terbang di atas kami justru mematuk bahuku, membuatku melayang dan kembali terjatuh menimpa seorang ibu dan anak yang saling memeluk, hingga bajuku penuh darah dengan bagian organ dalam yang tercerai-berai.

Ibu berlari ke arahku, mengulurkan tangan sambil meneriaki namaku. Wajahnya pucat pasi, dan aku menyadari bahwa rasa naif yang dimiliki olehku juga dimiliki oleh Ibu.

Paruh makhluk yang terbang itu terbuka, menganga lebar-saking lebarnya, aku merasa tengah dilahap oleh mimpi buruk. Suara teriakan Ibu meredam, tak terdengar lagi. Digantikan oleh Ayah yang berteriak sedemikian kencang memanggil nama Ibu, begitu juga adik-adik.

Aku sadar, aku melihat, aku mendengar. Waktu seolah berhenti saat itu juga, saat kepala Ibu dilahap oleh makhluk itu, membuat darahnya bercucuran dan terbang ke atas membawanya----menyisakan kalung mutiara palsu yang dulu Ayah buat saat hari ulang tahunnya di tanah.

Aku membeku, dadaku terasa sesak. Tapi Ayah berlari padaku, mengguncang kedua bahuku kencang dan berteriak agar aku sadar dengan keadaan sekitar.

"Lindungi adik-adik." Suaranya terdengar jelas, matanya yang menatapku dengan penuh rasa percaya, bibirnya yang menarik senyum dengan tangan gemetar menarikku hingga berdiri, mendorongku dan menodongkan tombak ke belakangku. Begitu aku menoleh ke belakang, mataku membeliak tepat saat makhluk itu mengubah tangannya menjadi sebilah pisau yang jauh lebih tajam dan besar----menusuk Ayah hingga menembus punggungnya.

Api menyebar, karena hampir seluruh rumah penduduk di sekitar aula memakai pondasi kayu. Hujan turun kian deras, malam semakin gelap, teriakan sudah padam. Tinggal suara sosok besar yang masih menggeram dengan makhluk yang terbang bersuara gagak.

Aku tak tahu, aku terdorong dengan sendirinya. Uratku seolah menegang, bahkan suaraku menjadi lantang.

Aku tak ingin rasa ingin tahuku menjadi malapetaka, aku tak ingin ini semua terjadi.

Aku tidak ingin kehilangan keluargaku.

Mengapa ...? Apa aku dikutuk karena melanggar aturan ...? Kami orang-orang baik.

Orang baik tak seharusnya dihukum.

"AYAH!!"

Aku berteriak-terus berteriak, sebelum suaraku habis dan mengingat apa yang Ayah katakan sebelum beliau menodongkan tombak. Lindungi adik-adik. Lantas, aku menarik tangan William. Menyentaknya, "Terus berlari sampai aku menyuruh kalian berhenti."

William yang jauh lebih terkejut tak menggubris, tapi dia menurut. "KITA LARI!!"

Enam pasang langkah kaki cukup menggema. Kami berlari bagai tawanan yang keluar dari penjara----kami lari dari ketakutan serta mimpi buruk yang mengerikan. Aku berharap ini hanya mimpi, yang di mana kami akan bangun esok hari dan kembali seperti biasanya. Kami saling bergenggaman, berlari sebisa kami menuju ladang----tepat saat biri-biri banyak yang keluar kandang, para kuda, bahkan sapi. Tapi banyak juga dari mereka tergeletak dengan tubuh yang tercerai-berai.

Nampak di sisi kanan dan kiri----semak-semak, sisi hutan yang tak boleh kami dekati terdapat para makhluk aneh itu berlarian mendekat ke arah kami, mengejar kami.

"Grill, kita harus ke mana?!" Chloe bertanya. Aku tidak berhenti berlari, memikirkan cara sampai satu biri-biri di depan sana berlari masuk ke dalam semak-semak.

Aku ingat. Semak-semak yang menjadi salah satu penyebab kami mendapat hukuman. Sebuah gua yang gelap. Aku mungkin akan menyesal akan pilihanku, tapi aku tak punya cara lain selain masuk ke dalam sana.

"Gua! Yang pagi kita temui," ujarku berteriak. "Kita masuk ke sana!" Aku menunjuk semak-semak.

Adik-adik mengangguk, dan kami terus berlari, hingga berhas masuk ke dalam gua.

Suara langkah kaki kami kian menggema, begitu juga suara makhluk itu yang masih menggeram. Lorong yang kami masuki semakin gelap-sangat gelap.

"Berhenti," ujarku.

Napas kami terdengar, dan suara sosok yang menggeram kemudian semakin samar dan hilang-hilang. Aku lupa kalau mereka agresif pada suara, juga, karena di sini gelap, kemungkinan besar mereka tak dapat melihat kami.

Aku merogoh tas selempang, mengobrak-abrik demi menemukan batang kayu kecil yang sejak dulu sering aku kumpulkan untuk bermain. Batang kayu yang jika digesek dapat memunculkan api yang tak bisa membakar kayunya. Seperti senter dan obor. Batang kayu itu berguna untuk kami sekarang. Beruntung dulu aku bermain dengan Kenneth, dia selalu membawaku ke tempat-tempat gelap untuk menemukan harta karun di gudang rumahnya.

Begitu dinyalakan, aku segera menoleh kanan-kiri, berharap hanya ada kami di sini.

Aman.

Kini tanganku beralih pada adik-adik, mereka terduduk dengan raut muka terkejut. Aku mengerti ... aku mengerti. Aku mengerti ketakutan mereka, karena sebetulnya aku juga merasakan ketakutan yang sama. Ketakutan yang menghantui kini melahapku hidup-hidup.

Aku ikut terduduk di tanah bersama mereka. Tak ada yang dapat aku lakukan sekarang selain menyimpan batang kayu itu di tanah sebagai penerangan, dan merentangkan tangan untuk memeluk mereka. Awalnya mereka hanya diam tak membalas, tapi lama kelamaan tangan-tangan kecil itu mulai balik memeluk. Aku merasakan bahu mereka bergetar, saling merangkul berbagi kekuatan, menyalurkan rasa takut yang mereka tahan.

Ini bukanlah mimpi, ketakutan kami benar-benar nyata akan dunia yang kami tempati begitu banyak misteri. Pertanyaan-pertanyaan kembali bermunculan dalam benak. Mengapa ada makhluk-makhluk seperti tadi? Ada apa dengan desa kami? Apa yang disembunyikan Tetua dari kami?

Aku ingin menangis, tapi air mataku tak kunjung keluar. Dingin, tidak ada Ayah atau Ibu di sisi kami sekarang untuk merangkul bahuku lebih hangat lagi.

Kini tinggal kami, tinggal aku dengan adik-adik. Warga desa yang lain, yang kemungkinan selamat tak ada di sini.

Aku hanya berdoa, semoga Tuhan selalu melindungi kami, dan semoga kami baik-baik saja, selalu bersama hingga nanti.

***

The Brother's Gimm and The Cursed World: Escape [ REVISI ]Where stories live. Discover now