06. Makhluk-makhluk Itu

93 40 11
                                    

Aku panik, tapi sebisa mungkin untuk tidak kehilangan kendali. Dengan kesadaran yang masih ada, aku menyuruh adik-adik agar tidak bersuara meski aku tahu mereka sangat ingin berteriak kencang agar melepas rasa takut dan khawatir dalam benak. Namun, menurutku itu adalah cara yang salah untuk menyikapi keadaan yang sedang terjadi sekarang. Aku ingin mereka tetap tenang, agar tak salah berbuat hingga memperburuk keadaan.

Chloe dan Choirul setuju untuk keluar lebih dulu dan berlari kembali masuk ke dalam desa, tapi lewat kiri. Kami sama-sama tahu ada jalan yang bisa dilewati, dan ada banyak celah. Sebenarnya, bisa saja kami pergi berlari ke luar desa. Hanya saja, mereka lebih banyak datang dari arah luar. Jika kami tetap memilih untuk menjauhi desa, kami akan tersesat dan sama saja bunuh diri. Lagi pula Choir dan Choirul lebih dulu berlari masuk ke dalam desa.

Yang aku pikirkan sekarang adalah, pergi menemui Ibu dan Ayah. Ada kemungkinan besar orang-orang di bawah tanah untuk berlindung.

William turun dan memburu-buru Teressa agar keluar. Gadis kecil berkepang satu itu gemetar hebat, saat gerobak mulai dibalik lagi sepenuhnya, aku dan Teressa yang masih di dalam terguling hingga menabrak pos.

"GRAAAHHHHH!!!"

Suaranya membuat Teressa menutup kedua telinganya, saat aku mencoba untuk membuatnya tenang, dari jendela gerobak tampak satu tangan besar yang penuh bercak darah mencabik-cabik tirai yang menutupi gerobak ini----menyobeknya, hingga gerobak ini tak lagi tertutup, membuat kami melihat wujud aslinya dari dekat----matanya menonjol hampir keluar, gigi-giginya runcing dengan bau yang luar biasa membuatku mual.

Sebenarnya itu makhluk apa?!

Tangan Teressa mencengkeram lenganku erat hingga membuatku terasa sakit, cepat-cepat aku mencari sesuatu yang berada di dalam gerobak ini. Tak ada apa-apa----kecuali satu tombak yang tiba-tiba menggelinding dari kolong bangku. Aku mengambilnya, begitu kepala makhluk itu mendekat dan membuka mulutnya----seperti hendak memakan kami. Maka, tak berpikir panjang lagi, aku mengambil tombak itu dan menusuk mulutnya. Sontak makhluk itu menggeram tangannya mencoba mengeluarkan tombak itu dari mulutnya, tapi aku menusuknya terlalu kencang.

Sebuah kesempatan, aku segera menarik Teressa keluar dari dalam gerobak kuda ini dan berlari cepat menyusul William.

"Jangan lihat ke belakang!" Aku berteriak. Teressa hanya mengangguk, menunduk dengan kulitnya yang terasa begitu dingin.

Kami berlari kembali masuk ke dalam desa, setelah keluar dari gang, aku menemukan William, Chloe dan Choirul sedang berhenti, mengatur napas. Aku melongok ke belakang, makhluk-makhluk itu tidak menghilang, mereka masih ada, tapi kemungkinan besar tak menyadari keberadaan kami di sini.

Aku dapat merasakan hawa panas dingin yang menegangkan, William berlutut dengan matanya yang tak henti-henti membeliak. Choirul memeluk Chloe yang masih panik tapi tertahan, begitu juga aku mencoba menenangkan Teressa meski diri sendiri dalam ketakutan luar biasa.

"Kalian tidak apa-apa?" tanyaku pelan.

Mereka tak menjawab. "Kita tidak bisa bersembunyi di sini, kita harus cepat bertemu Ayah dan Ibu."

"Tapi di luar sana banyak monster, Grill!" William membentak. "Bagaimana kau menanyakan kami baik-baik saja, sedangkan kau sendiri tidak merasa begitu?" William menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.

"A-aku---"

"Apa yang kau tahu, Grill?" tanya Choir.

Aku menggeleng pelan. Bagaimana caranya aku mendeskripsikan perasaanku pada mereka? Bagaimana mereka bisa mengerti atas rasa ingin tahuku selama ini? Bagaimana cara mereka menyikapi sikapku jika aku egois, kemudian hal seperti yang Gimmy alami terulang lagi? Akankah mereka mengerti rasa takut yang selalu aku redam?

"Tidak ada." Aku menghela napas. "Kalian sudah mengetahuinya, aku sudah mengatakannya."

Teressa menyentuh jari-jemariku. "Grill, kami sama-sama takut. Dan kau benar, kita tidak boleh bersembunyi di sini. Kita harus bertemu dengan Ibu dan Ayah."

"Lalu dengan monster itu?" tanya Chloe.

Aku berpikir sejenak, sebelum menjawab, "Kita hanya perlu menghindarinya."

Teressa melirik ke arahku dan mengangguk diikuti adik-adik.

***

Setelah menyusun rencana, kami mulai berjalan. Dimulai dari aku di depan, Choir dan Chloe, kemudian Teressa dan diakhiri William. Kami akan menuju kantor desa-akibat berlari lewat jalan lain, kami sedikit memutar.

Satu kelemahan yang aku mengerti, mereka tak dapat menemukan kami jika kami tak bersuara. Namun, tentu saja. Salah langkah akan membuat masalah besar untuk rencana yang sudah dipersiapkan.

Chloe terkejut mendapati seseorang jatuh dari atas ke bawah, mengenai mesin kelapa yang baru saja dipekerjakan beberapa hari lalu-hasil kreativitas anak magang, membuat kepalanya hancur beserta persendian yang remuk. Adik itu menjerit takut, membuat makhluk di sekitar kami terperangah dan mulai mencari asal suara. Lagi, akhirnya kami berlari seperti tawanan yang kabur dari hukuman penjara bawah tanah, secara terbirit-birit dan panik luar biasa.

Di tengah perjalanan, William terjatuh di belakangku. Aku ragu, antara tetap pergi meninggalkannya atau membantunya terlebih dulu. Meski aku tahu William bisa bangun sendiri, aku tetap tak bisa mengabaikannya. Alhasil, aku kembali ke belakang, membantu William berdiri dan berlari masuk ke dalam aula. Cepat-cepat aku menutup pintu, menguncinya dan mendorong meja atau kursi untuk menahan pintu tersebut agar tidak terbuka.

Aku seolah kehilangan oksigen, padahal di sekitar desa terdapat banyak tumbuh-tumbuhan.

Ruang aula yang tampak sepi tidak ada orang, selain terdengar suara jeritan samar yang entah asalnya dari mana. Aku menduga, suaranya berada di bawah tanah.

"Aula terdapat banyak ruang, kemungkinan besar di salah satu ruang kita bisa bertemu seseorang," aku berujar cepat, menatap para adik yang seakan tak mendengarkan, padahal mereka mendengar. Hanya saja, raut wajah mereka tampak pucat pasi. Aku tahu, berlama-lama tak akan merubah apa pun.

"Kalian lebih dulu pergi ke ruang bawah tanah, biar aku dan Teressa yang mencari seseorang di sini, atau peralatan yang bisa kita bawa untuk melawan makhluk-makhluk itu."

Teressa mengangguk. "William, tolong jaga adik-adik."

Mereka tak membantah, menurut dan segera berjalan menuju ruang bawah tanah, melewati lorong tertutup yang pernah Ayah beritahu beberapa tahun lalu.

Aku mulai bergerak, membuka pintu-pintu dan yang kudapat hanya orang-orang yang terkulai lemah dengan luka cabik di mana-mana. Aku menahan napas, ketika melihat beberapa sudah digerumuti lalat.

Beberapa tombak Teressa temui, aku juga mendapat pisau dari laci salah satu ruang di aula.

"Grill, bukankah suara jeritannya hilang?" tanya Teressa tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi, mencoba menajamkan indera pendengaran-senyap. Jeritan orang-orang tak lagi terdengar, aku mulai khawatir. "Teressa, ayo cepat." Aku menarik tangan adikku itu, berlari melewati lorong dan turun ke lantai bawah, ke bawah tanah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kami saat ini.

Namun, begitu pintu dibuka, ada sesuatu yang salah, yang seharusnya tidak aku temui. Tidak aku lihat. Tidak aku dengar.

Adik-adik terduduk di sisi dinding sebelah pintu terbuka, mata mereka membeliak seraya menutup mulutnya masing-masing. Ada Ayah, Ibu, beserta Gimmy juga, tapi keadaan mereka tak dapat dibilang baik. Fokus kemudian teralihkan ke depan, tempat segerombol orang-orang tertidur---dengan masing-masing kepala terputus serta menggelinding. Tubuh mereka dicabik-cabik, para makhluk itu menarik usus---menelannya. Beberapa dari mereka mengubah tangannya menjadi sebilah pisau tajam, mulai memotong kepala hingga terbelah---mengambil otak.

Sekujur tubuh mulai terasa dingin, bahkan lidah begitu kelu untuk mengucapkan kata-kata, kaki seolah menjadi jeli di mana aku bisa terhuyung kapan saja. Dengan gemetar, aku menutup mulutku sendiri, menjatuhkan pisau dalam genggaman ke lantai dan ikut terduduk.

Lain halnya dengan Teressa, aku melihatnya begitu lain-seolah Teressa bukanlah adikku.

***

The Brother's Gimm and The Cursed World: Escape [ REVISI ]Where stories live. Discover now