Della Hamil

2.2K 276 21
                                    

.

Gawat, cowok ini pakai pingsan segala. Aku mau tidak mau harus menolongnya, sebelum terjadi apa-apa atau malah mati di sini.

Kurebahkan tubuhnya di lantai, darah yang masih mengalir itu coba kusumbat dengan handuk milikku. Kuikat dilengannya agar tak lagi keluar. Kepalaku pusing melihatnya, tapi aku harus kuat.

Buru-buru aku mengambil air untuk membersihkan lukanya. Untung saja aku selalu menyediakan perlengkapan P3K di tas kecil dalam koper, karena Ibu selalu mengingatkanku akan barang penting itu. 

Aku bernapas lega, setelah berhasil membersihkan darah yang menempel di lengannya. Melihat luka yang tidak dalam dan hanya tergores benda tajam, aku hanya memberikannya sedikit alkohol, dan betad*ne sebelum melilitkan perban. 

Tubuh cowok ini besar, tapi kenapa dia masih memakai seragam SMA. Lalu kenapa malam-malam masih berkeliaran di jalanan?

Aku ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Kemudian aku mengambil minyak angin untuk menyadarkannya.

Tak lama kemudian dia pun mengerjapkan mata, lalu berusaha untuk duduk. Melihat ke lengan yang sudah terlilit perban.

“Makasih, Mbak udah tolong saya,” ucapnya lirih.

“Iya, ya udah sekarang kamu pulang sana! Mumpung sepi.”

“Aku boleh numpang tidur di sini? Aku janji besok aku pulang sebelum orang-orang bangun.”

“Mana bisa, aku nggak kenal siapa kamu. Trus lihat itu tempat tidur nggak muat kalau buat berdua.”

“Please, Mbak. Aku nggak mungkin pulang, bisa-bisa nanti aku dibunuh di jalanan.”

Deg, dibunuh? “Kamu nyolong? Begal?” tanyaku sedikit menyelidik. 

Ada perasaan was-wasa saat pria di depanku bilang masalah bunuh membunuh. 

“Bukan, ya udah aku numpang di sini, nggak apa-apa deh tidur di lantai juga.” Pria itu kembali merebahkan diri di lantai, sambil meringkuk dan memegangi lengannya yang terluka.

Pasti besok pagi dia kedinginan, karena habis hujan, pakai AC dan tidur di lantai.

“Ya udah, kamu tidur di atas. Tapi awas jangan macem-macem.” Aku bangkit dan membereskan tempat tidur. Memberikan batas di tengah dengan sebuah guling.

“Maaf ya, Mbak,” ujarnya lagi.

“Iya.”

Entah kenapa aku tidak bisa marah padanya. Padahal jelas-jelas dia siapa, aku tidak mengenalnya. Bagaimana kalau nanti dia akan berbuat jahat? Tapi, rasanya tidak mungkin. Semoga saja apa yang aku lakukan untuk menolongnya akan dibalas lagi dengan kebaikan yang lainnya.

Pria itu berbaring miring ke arahku, dan memejamkan matanya. Luka di lengan kiri memang membuatnya tak bisa tidur miring ke kiri, mau tidak mau dia menghadap ke sini.

Aku pun mulai berbaring, hari ini rasanya begitu melelahkan. Tak hanya tubuh saja yang capek, melainkan hati dan pikiranku juga.

Mas Haris pasti sedang asyik bermesraan bersama Della. Aku benar-benar tak bisa tidur dibuatnya. Memikirkan ucapan Mas Haris membuatku sakit hati.

Aku yang gelisah, kembali duduk. Lalu terdiam dan menunduk. Melihat ke arah tubuhku sendiri, apa aku seburuk itu? Tubuhku memang tak sebagus Della. Bahkan ketika naik angkutan umum aku selalu dipanggil ‘ibu' dan selalu diberi tempat duduk karena mereka pikir aku sedang hamil.

Segemuk itukah aku?

Aku berjalan ke depan cermin yang berada di depan pintu kamar mandi. Memandangi wajahku yang memang tak pernah terkena polesan make up. Pipi cubby, rambut sebahu, dan aku terlihat begitu bulat. Terlebih ada beberapa jerawat yang baru saja tumbuh di dekat hidung.

Aku mengembuskan napas pelan. Sebelum akhirnya kembali ke tempat tidur.

.

Aku terbangun oleh suara alarm dari ponselku. Kulihat sudah pukul lima pagi, bergegas aku ke kamar mandi untuk berwudhu dan menunaikan sholat Subuh.

Selesai sholat, aku baru sadar. Ada yang hilang dari kamarku. Pria itu, ke mana dia?

Aku melepas mukena dengan cepat. Kemudian mencarinya ke seluruh sudut ruangan. Tidak ada. Aku membuka pintu kamar, ternyata tidak dikunci, dan keadaan di luar masih sedikit gelap juga sepi. Ke mana dia?

Untuk apa aku memikirkannya, seharusnya aku senang, karena dia sudah pergi sebelum penghuni kost melihatnya. Namun, entah kenapa aku justru mengkhawatirkannya. Karena luka itu, apakah sudah membaik? 

“Pagi, Mbak Yura.” Sebuah sapaan membuatku menoleh.

Kulihat Mak Indah baru sudah berdiri di sebelahku. Masih memakai daster yang sama seperti semalam, entah mau ke mana.

“Mau ke mana, Mak?” tanyaku.

“Mau belanja, pagi-pagi cari siapa?”

Deg, atau jangan-jangan Mak Indah tahu kalau aku sedang mencari seseorang. “Eum, nggak cari siapa-siapa, sih. Cari udara segar saja.”

“Oh, semalam itu saya dengar katanya ada tawuran. Mbak nggak kenapa-kenapa? Karena kan kamarnya paling pinggir dekat jalan, saya takut Mbak Yura kebrisikan mereka.”

Benar dugaanku, ada yang tawuran semalam. Lalu pria itu pasti salah satu dari mereka.

“Oh, enggak, saya nggak kenapa-kenapa, Mak. Aman. Oh iya, kalau saya mau masak gimana, ya?”

“Itu dapur umum, pakai saja, Mbak. Saya masak di dalam. Biasa dipakai anak kost. Tapi ya paling buat bikin mie instan. Anak kost biasa pada jajan.”

“Kalau saya bawa mejikom, buat masak nasi, boleh kan, Mak?”

“Boleh, kok, boleh. Kan, listrik Mbak Yura yang bayar. Hehehe.”

“Iya, ya.”

“Kalau mau cari sarapan, di depan banyak tukang jualan. Ada nasi uduk, bubur ayam, lontong sayur, gorengan, ketoprak. Saya ke warung dulu ya, Mbak. Takut gak kebagian.”

“Oh iya, Mak. Silakan.”

Mak Indah lalu melangkah menjauh, oh ternyata ada dapur umum. Tetap saja aku harus belanja, tapi kalau belanja banyak pun aku nggak punya kulkas. Ah, ternyata hidup di kost tidak seenak yang kubayangkan.

Kudengar ponsel berdering dari dalam kamar. Aku bergegas masuk, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Telepon dari Ibu.

“Assalamu’alaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam, Yura, kamu di mana, Nduk? Kamu baik-baik saja?” 

“Alhamdulillah, aku baik, Bu. Akuu  ....”

“Tadi Ibu telpon suamimu, katanya kamu pergi dari rumah. Kenapa tow, Nduk? Apa ndak bisa masalah itu diselesaikan baik-baik?”

“Memang, Mas Haris bilang apa sama Ibu?” 

“Kamu minta cerai, masalahnya apa, kok sampai kamu minta cerai seperti itu? Jadi janda itu nggak enak, Nduk. Ibu udah pernah ngerasain. Kamu jangan sampai seperti Ibu nanti.”

Aku menelan ludah, Ibu memang tidak tahu menahu dengan masalah yang aku hadapi. Dipikirnya aku marah karena Mas Haris berbohong masalah naik pesawat kemarin. Ibu tidak tahu yang sebenarnya kalau Mas Haris membuat video mesum bersama Della. Seandainya Ibu tahu, aku takut reaksinya akan sama dengan ibunya Mas Haris. Karena Ibu memiliki riwayat penyakit jantung.

“Maafin aku, Bu. Aku nggak bisa bertahan dengan laki-laki yang tukang bohong.”

“Ya sudah, nanti kita bicarakan. Kamu kerja nggak?”

“Iya, aku kerja, Bu.”

“Pulang kerja, kamu ke rumah ya. Ibu mau bicara sesuatu tentang adikmu Della.”

“Della? Kenapa dia, Bu?” Malas sekali aku datang hanya untuk mendengarkan keluhan perempuan itu.

“Della hamil, tapi Ibu nggak tahu dia hamil sama siapa. Ibu nemuin testpeck di kamar mandi.” Suara Ibu sedikit berbisik.

“Apa? Della hamil?”

.

Bersambung.





Cantik Usai BerceraiWhere stories live. Discover now