Mas Haris Pulang

2K 289 64
                                    

.

Esoknya, warga mengiringi pemakaman ibu mertuaku tanpa Mas Haris. Aku sama sekali tak bisa menghubunginya. Entah dia ganti nomor, atau memang sengaja tidak ingin diganggu oleh keluarganya.

Kamu benar-benar egois, Mas. Demi nafsu, kamu rela membohongi kami semua. Bahkan kelakuannya sampai merenggut nyawa ibu kandungnya sendiri.

Keluargaku masih setia mendampingiku hingga jasad Ibu tertutup tanah. Aku tak kuasa menahan tangis, meski beliau selalu bilang kalau aku ini wanita yang tak pantas mendampingi Mas Haris. Aku selalu tahan semuanya.

Pernikahan kami memang tak direstui ibu mertuaku, karena beliau bilang penampilanku yang kampungan. Tubuhku gemuk, dna wajahnya tidak cantik. Karena aku memang bukan wanita yang suka dengan make up. Hanya pelembab dan bedak bayi yang kupakai sehari-hari. Lipstik pun kalau kondangan saja kugunakan.

Ibu selalu ketus denganku di rumah, terlebih aku belum bisa memberikannya seorang cucu. Tapi, aku tak pernah mengkhianati Mas Haris. Cintaku tulus untuknya, aku menyayanginya, juga menyayangi ibunya.

Namun, kalau seperti ini. Rasanya perasaanku sudah tak ada lagi. Sakit, dan kecewa yang aku dapatkan. Kata-kata yang dulu pernah diucapkan Mas Haris padaku, kalau dia bilang mencintaiku apa adanya.

“Sudah ya, Nduk. Ikhlaskan. Kita pulang sekarang. Tunggu suamimu.” Ibu mengusap lembut punggungku.

Aku lalu beranjak, setelah menabur bunga di atas makam ibu mertuaku. Rasanya aku masih tak percaya dengan semua ini.

.

Baru saja tiba di rumah, aku kedatangan seseorang. Tukang pos?

Aku mengernyit, surat apa yang dikirim oleh kurir pos. Setelah kuterima, baru kutahu kalau surat itu berasal dari rumah sakit. Di mana aku dan Mas Haris pernah memeriksakan kondisi kesuburan kami.

Mungkin dikirim lewat pos karena aku tidak bisa mengambil ke sana, atau nomor Mas Haris tak bisa dihubungi. Kubuka hasil lab tersebut di depan keluargaku.

Dadaku berdetak cepat, dengan tangan yang gemetar hebat saat melihat hasil lab di tanganku. Mas Haris dinyatakan mandul.

Aku menunduk, entah aku harus bersyukur atau bersedih dengan hasil pemeriksaan ini. Apakah aku akan mempertahankan rumah tanggaku atau tidak, tapi rasanya aku sudah tak punya lagi tempat di hati ini untuk pengkhianat yang jelas-jelas berbuat tak senonoh itu.

“Yura! Yura!” 

Tiba-tiba suara teriakan memanggil namaku dari arah luar.

Brak!

Pintu yang sudah terbuka itu digebraknya, aku melotot tak percaya. Mas Haris kini berjalan ke arahku.

Di depan keluargaku, dia, orang yang selama ini aku cintai, datang berteriak dan memandangku dengan kilat amarah.

“Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu meninggal, kenapa? Istri macam apa kamu?” bentaknya sambil menunjuk ke arahku.

Aku menelan ludah, lalu membuang muka. Berjalan ke sebelahnya. 

“Kamu pikir saja sendiri, Mas.”

“Maksud kamu apa? Hah! Aku kerja banting tulang buat keluarga, buat kamu! Begini kelakuan kamu di rumah. Kamu pasti sudah buat Ibu sakit, kan? Kemarin waktu aku pergi Ibu masih baik-baik saja."

Aku menoleh ke arahnya, “Nih. Kamu cek sendiri. Di dalam ponsel ibu kamu, akan terlihat, apa penyebab ibu meninggal.” Kuserahkan ponsel ibu mertuaku ke hadapannya.

Mas Haris langsung merampasnya dari tanganku, dia sibuk mencari bukti di ponsel tersebut. 

Aku berjalan ke arah Ibu dan kedua kakakku. Mereka tak berani angkat bicara, karena menghargai aku dan Mas Haris.

“Sial! Aaargggh! Ayo antar aku ke makam Ibu.” Mas Haris membanting ponsel ke lantai, lalu menarik tanganku keluar.

Aku tak bisa menolak, membiarkannya membawaku ke dalam mobil. Di sepanjang perjalanan kulihat wajah Mas Haris gelisah. Lelehan air keringat bercampur air mata tampak membasahi wajahnya.

Ingin aku memberikannya kekuatan, mengusap wajah itu dengan lembut. Namun, mengingat apa yang sudah diperbuatnya, membuatku enggan dan merasa jijik.

Jarak antara rumah dan pemakaman tak begitu jauh. Kami akhirnya tiba di depan pagar besi TPU. Aku turun mengikuti Mas Haris yang langsung berlari, seolah tahu di mana sang ibu dimakamkan.

“Mas, tunggu!” panggilku.

Pria berkemeja hitam itupun menghentikan langkah. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar, menatapku. “Apa?”

“Makam Ibu di sebelah sana!” Aku menunjuk ke arah sebelah kanan.

Lalu aku mendahului jalan, mengarahkan ke tempat di mana ibu mertuaku dikebumikan. 

Sesampainya, Mas Haris langsung memeluk gundukan tanah yang masih dipenuhi oleh taburan bunga mawar, menangis sekencang-kencangnya seraya memukul pelan makam ibunya.

“Ibu, maafin Haris, Bu. Ibu bangun, Bu. Jangan tinggalin Haris, Bu.” Suara Mas Haris begitu serak dan menyesakkan.

Aku tahu ini begitu berat buatmu, Mas. Sama seperti aku yang juga mengetahui apa yang terjadi antara kamu dengan adik angkatku itu.

Tak lama kemudian, Mas Haris menggeser tubuhnya. Membungkuk dan mencium kakiku. “Maafkan aku,Yura. Aku khilaf,” ucapnya lirih.

Aku hanya diam, rasanya dada ini sesak. Mungkin kamu bisa bilang khilaf, tapi aku yakin kamu melakukan itu dengan sadar.

“Yura, aku mohon sama kamu. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” sambungnya lagi.

Aku pun tak kuasa menahan sesak yang sejak tadi membuat dada ini ingin meledak. Marah, kesal, semuanya menjadi satu.

“Sudah, Mas. Kita pulang saja. Jangan menangis seperti ini. Kita bicarakan di rumah.” Aku mencoba setenang mungkin, meski gejolak dalam hati ingin sekali memaki.

Aku hanya menghargai ibu mertuaku yang sudah tiada. Setelah ini, aku akan mengambil keputusan.

.

Bersambung

Kira-kira Yura bertahan atau melepaskan Haris ya?

Kalo aku sih, laki-laki kaya gitu ya tinggalin aja. Masih muda kan ya? Dia mandul pula. Wkwkkw

Cantik Usai BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang