Lipstik di Koper Suamiku

2.4K 288 12
                                    

Yang belum follow, follow dulu dong 😘

Aku menyiapkan makan malam di ruang makan. Suara azan Magrib pun terdengar. Karena jarak rumah kami tak jauh dengan Masjid komplek.

Setelah hidangan tersaji, aku lalu berwudhu untuk melaksanakan sholat tiga rokaat baru kemudian makan bersama. Mas Haris masih berada di kamarnya, ia duduk di atas kasur sambil senyum-senyum dengan ponselnya.

Keningku berkerut, pasti dia sedang asyik chat dengan Della.

“Mas, kenapa senyim-senyum?” tanyaku iseng.

“Nggak apa-apa, lucu aja lihat video di tik tok.”

“Sholat yuk, Mas.”

“Udah kamu duluan aja.”

Aku lalu mendekatinya, dan mengintip di sebelah bahunya. Melihat apa benar Mas Haris sedang nonton tik tok. Ternyata dia langsung menjauhkan ponsel ke arah lain.

“Mana aku mau lihat, katanya nonton video tik tok.” Aku mendelik ke arahnya.

“Udah ilang, ya udah ayo sholat dulu.”

Mas Haris lalu beranjak dari duduknya, kulihat dia meletakkan ponsel di bawah bantal. Ada yang kamu sembunyikan dariku, Mas.

.

Setelah melaksanakan sholat Magrib berjamaah, kuminta Mas Haris duluan ke luar kamar. Sementara aku berpura-pura ingin buang air. Padahal aku ingin memeriksa ponselnya.

Mas Haris tak curiga, dia keluar kamar dan aku langsung mengunci kamar dari dalam. Dengan cepat aku meraih ponsel yang masih tergeletak di bawah bantal. 

Kubuka dengan jantung berdegup kencang, takut kalau sampai apa yang kupikirkan ternyata benar.

Namun, saat aku membuka pesan whatsappnya. Tak ada pesan masuk satu pun dari Della. Bahkan pesan yang semalam kubaca juga lenyap. Lalu kucari di kontak atas nama Della, sudah tidak ada. Sial! Aku kehilangan jejaknya. Ternyata dia cerdik juga.

Kukembalikan ponsel seperti semula, lalu bergegas keluar kamar.

“Lama banget, perut kamu nggak apa-apa?” tanya Mas Haris menatapku cemas.

Aku hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Perut aku memang tidak kenapa-kenapa, Mas. Tapi hati aku sakit kalau sampai kamu bohongi aku.

“Yura kenapa? Hamil?” tanya ibu mertuaku yang selama ini tinggal bersama kami.

“Enggak, Bu. Cuma sakit perut biasa aja,” jawabku seraya duduk.

“Oh, kirain. Kapan kamu hamil? Sudah dua tahun loh kalian nikah,” celetuk ibu mertuaku.

“Sabar, ya, Bu. Mungkin Allah belum kasih kita rezeki.”

“Sabar sampai kapan, Ra? Anak Ibu cuma satu. Haris doang, kalau sampai nggak punya cucu. Trus gimana?”

“Insya Allah, Bu.”

Kulihat wajah ibu mertuaku bersungut. Pernikahanku dengab Mas Haris memang sudah jalan dua tahun. Aku pun belum merasakan ada tanda-tanda kehamilan. Padahal kami masih rutin menjalanu hubungan suami istri seminggu dua sampai tiga kali. 

“Kalian periksa lah sana. Kamu juga, Ra. Diet, biar nggak kegendutan. Jangan-jangan kamu susah hamil karena rahim kamu ketutupan lemak kali tuh.” Suara Ibu semakin meninggi.

Aku hanya menghela napas pelan, sambil memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu gemuk? Dengan tinggi 160cm dan berat badan 60kg. Mungkin memang aku harus diet lagi.

“Haris, besok kamu periksa ke rumah sakit. Siapa yang mandu,” ketus Ibu.

Astagfirullah, sakit hati ini mendengarnya, harusnya sebagai seorang Ibu. Beliau mendukungku, memberikan semangat. Bukan menjatuhkan harga diriku seperti ini.

“Iya, Bu. Iya. Besok aku mau ke luar kota, Bu. Biar nanti yang ambil hasilnya Yura aja.”

“Memang naik pesawat yang jam berapa, Mas?” tanyaku penasaran.

“Jam dua siang”

“Oh.”

“Tuh, Yura. Makanya punya anak, biar suamimu betah di rumah,” sahut Ibu lagi.

Aku hanya menelan ludah mendengar ucapan Ibu yang menurutku memang sudah seperti makanan sehari-hari di rumah.

Tak kubalas ucapannya, hanya diam sambil sesekali melirik ke arah Mas Haris yang tampaknya dia juga biasa saja. Tak membelaku, dan terkesan membenarkan ucapan ibunya itu.

.

Tepat pukul sepuluh malam, aku dan Mas Haris berbaring di ranjang. Tumben banget dia memintaku untuk tidur di atas dadanya yang bidang. Aku tidak rela kalau sampai dia benar-benar menduakanku dengan Della.

Sambil mengusap lembut kepalaku, dia pun berkata. “Sayang, kapan ya kita punya anak?” tanyanya.

Aku kembali mencelos, “Insya Allag, nanti kalau Allah sudah percayakan itu pada kita.”

“Aku yakin kalau aku sehat, besok kamu aja yang periksa ke dokter ya.”

“Enggak bisa dong, Mas. Masa cuma aku yang diperiksa.”

“Tapi kemungkinan aku nggak bisa antar kamu pulang.”

“Iya, nggak apa-apa, Mas. Lagipula besok kan Sabtu. Aku juga nggaj kerja, banyak ojek online pula. Gampang kalau masalah pulang mah.”

“Ya udah, aku tidur duluan, ya. Ngantuk banget.”

“Iya, Mas. Aku mau merapikan baju kamu ke dalam koper dulu.”

Mas Haris hanya berdehem kemudian memejamkan kedua matanya. Aku menatap wajahnya yang makin berwibawa itu. Usia kami berjarak sepuluh tahun. Mas Haris berusia tiga puluh lima, sementara aku dua puluh lima. 

Mas Haris menikahiku saat aku baru saja lulus kuliah. Dia juga tidak mengizinkan aku untuk tetap bekerja agar tidak kuper katanya, dan ijazah tidak sayang.

Dengkuran pelan sudah terdengar, aku beringsut dari ranjang. Mengambil koper yang berdiri di samping lemari. Seminggu yang lalu baru habis digunakan juga menginap ke Bogor. 

Mengapa aku merasa Mas Haris sekarang menjadi sering ke luar kota ya?

Kuabaikan pikiran burukku, kubuka perlahan koper tersebut. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah benda seukuran ibu jari, berwarna merah ada di sudut koper. Kuambil, sebuah lipstik. Milik siapa?

Bahkan aku tak pernah memakai lipstik dengan merk ini. Saat kubuka tutupnya, lipstik ini pun bukan lipstik baru. Ya Allah, apa lagi yang kamu sembunyikan dariku, Mas?

.

Bersambung

Vote and komennya gaes 🤗

Cantik Usai BerceraiWhere stories live. Discover now