Ngekost

2.2K 277 10
                                    

.

Aku memejamkan mata, aroma parfum Mas Haris adalah yang aku suka. Berada di pelukannya dulu membuatku nyaman, seolah dialah satu-satunya pria yang mampu menjaga dan melindungiku. Desakan di dada membuatku tak ingin lagi terlena. Aku harus kuat, aku pasti kuat.

Kudorong tubuhnya pelan, seraya kuusap wajahku yang basah. “Aku pergi, Mas.”

“Kamu mau ke mana? Ini sudah malam.”

“Aku mau pulang.”

“Ke rumah Ibu? Biar kuantar ya.”

“Enggak perlu, Mas.”

Aku lalu kembali menarik koper ke luar dari kamar. Ya Allah, aku tidak mungkin pulang ke rumah Ibu, karena di sana ada Della. Rasa sakit di dada ini masih begitu nyeri, jika harus bertemu dan bertatap muka dengannya.

Aku mencoba berjalan sampai depan komplek. Sesekali mengaktifkan aplikasi ojek online. Mungkin sementara waktu aku akan cari rumah kontrakan dulu, atau kost-kostan.

Sial. Ojek online tak kudapat justru rintik hujan mulai turun. Aku mencari tempat berteduh, di depan sebuah minimarket.

“Yura?” Sebuah suara mengejutkanku.

Aku menoleh, pria yang baru saja keluar dari mobil hitam di depanku itu menegurku. “Pak Rega?”

“Loh, kamu ngapain di sini? Kok bawa koper?” tanyanya.

Pria bertubuh jangkung dengan badan atletis di depanku itu adalah bosku di kantor. Dia menatap heran dengan kening berkerut. Aku hanya tersenyum kecil.

“Eum, saya  ....”

“Sebentar, ya. Saya mau ke ATM dulu, istri saya minya transfer.” Pak Rega lalu beranjak dan masuk lewat pintu kaca.

Aku melihatnya yang berjalan ke arah mesin ATM. Bahagianya yang memiliki suami seperti Pak Rega, sudah tampan, sukses, baik, perhatian pula. Sangat beruntung wanita yang menjadi istrinya itu.

Tak lama kemudian, hujan bukannya mereda, tapi malah semakin deras. Aku merasa tubuhku jadi dingin, dan bajuku basah karena terkena percikan air. Aku tidak mungkin masuk ke dalam minimarket tanpa belanja. 

“Yura, kamu mau ke mana? Biar saya antar.”

“Nggak usah, Pak. Ngerepotin, nanti istri Bapak nungguin, sudah malam.”

“Oh, enggak kok. Istri saya lagi di kampung sama anak saya. Anak saya minta sekolah di sana. Jadi, kita LDR-an.”

“Oh.”

“Rumah kamu bukannya di daerah sini ya?”

“Iya, Pak.”

“Mau saya antar pulang?”

“Enggak, Pak.”

“Loh kenapa? Suami kamu mana?”

“Eum  ... saya baru saja pisah sama suami saya, Pak. Saya sebenarnya mau cari tempat kost.”

“Ya Allah, kamu yang sabar, ya. Namanya berumah tangga pasti ada aja masalahnya. Kalau mungkin perceraian adalah jalan terbaik, ya semoga setelah ini kamu akan menemukan kembali jodoh kamu.”

Duh, berwibawa banget ngomongnya Pak Rega. Aku jadi makin kagum sama dia.

“Aamiin, Pak. Bapak mungkin tahu kost-kostan di mana?”

“Eum, iya, saya tahu. Ayo, ikut saya.” Pak Rega mengajakku naik ke mobilnya. 

Sedikit berlari, kami menerobos hujan. Aku langsung membuka pintu mobilnya, dan duduk di samping kemudi. Kuusap-usap kaos lengan pendekku ini. Kenapa juga aku tadi pakai kaos warna putih. Sampai dalemanku kelihatan seperti ini. Sumpah aku begitu malu. Mana koperku ada di belakang, mau ambil sweater jadi tidak bisa.

“Pakai ini!” Tangan Pak Rega terulur di depanku memegang sebuah jaket coklat. Ia seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

Aku menatapnya.

“Pakai saja, nanti kamu masuk angin,” ujarnya.

“Makasih, Pak.” Aku terpaksa menerima jaket tersebut.

Kemudian mobil pun perlahan melaju keluar halaman minimarket, setelah Pak Rega membayar sejumlah uang pada tukang parkir 

.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, masih tidak menyangka kalau perjalanan rumah tanggaku akan seperti ini. Secepat ini, di usia pernikahan yang baru seumur jagung. Bahkan aku belum memiliki momongan, haruskah aku bersyukur?

Astaga, aku sampai lupa memberitahukan hasil tes kesuburan tadi pagi. Apa aku perlu memberitahukannya pada Mas Haris? Toh juga tidak akan berpengaruh denganku juga. Biarkan sajalah.

“Kalian ada masalah apa? Kenapa sampai pisah? Maaf, kalau saya ingin tahu. Oh iya kabar suami kamu kecelakaan itu bagaimana? Benar?” tanya Pak Rega membuatku seperti kembali mengiris luka.

“Itu dia, Pak. Kami semua sudah tahlilan, ternyata dia selingkuh.”

“Innalillahi, kamu yang sabar, ya.”

“Makasih, Pak. Tapi Ibu mertua saya meninggal karena mengetahui hal itu.”

“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Saya yurut berduka cita ya, Ra. Saya salut sama kamu, masih terlihat tegar meskipun masalah datang bertubi-tubi.”

Aku terdiam, bukan tegar, Pak. Tapi aku lebih berusaha untuk tetap kuat. Setelah Mas Haris terang-terangan menghinaku yang tidak bisa apa-apa. Tidak cantik, tidak modis seperti yang lain, juga aku yang tidak bisa merawat diri.

Sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah yang halamannya begitu luas. Di tengahnya ada pohon mangga yang sedang berbuah, rimbun dan membuat bulu kudukku seketika meremang.

Malam, hujan, membuat suasana makin mencekam saja. Aku segera turun dari mobil dan berlari ke teras rumah tersebut. Begitu juga dengan Pak Rega.

“Assalamu’alaikum, Mak. Mak Indah.” Pak Rega mengetuk pintu sambil memanggil nama pemilik rumahnya.

Tak lama kemudian, wanita paruh baya bertubuh gemuk dengan daster bunga, membukakan pintu. “Waalaikumsalam, eh Pak Bos. Tumben malam-malam ke sini? Ada apa?”

“Iya, Mak. Ini, kenalkan, dia Yura, karyawan di kantor saya. Dia sedang mencari tempat kost. Masih ada kamar kosong?” Pak Rega memperkenalkanku pada si pemilik kost.

Aku menjabat tangan wanita bernama Indah itu seraya melempar senyum.

“Oh, masih, Pak. Kebetulan tinggal satu kamar. Tapi di depan situ!” Mak Indah menunjuk kamar di depan pagar, tepat di depannya pohon mangga. 

Lampu depannya masih gelap, jelas saja, kosong. Semoga saja kamarnya nggak angker.

.

Bersambung.

Cantik Usai BerceraiWhere stories live. Discover now