Laki-laki Masuk Kamar

2.2K 272 11
                                    

.

Aku diantar oleh Mak Indah ke depan kamar tersebut, sementara Pak Rega berjalan ke mobilnya. Kulihat dia membuka bagasi mobil untuk mengambil koper milikku.

“Ini, Mbak, kamarnya. Bersih kok, tiap hari dibersihkan. Yang ngekost baru pindah kemarin karena mau menikah.” Mak Indah membuka pintu kamar lalu menyalakan lampu.

Kamar yang kurang lebih berukuran 4x3M2 ini sudah tersedia satu kasur busa tanpa dipan, satu lemari plastik, kamar mandi di dalam, juga AC. Cukup mewah menurutku, tidak seperti kelihatannya. 

“Berapa sebulannya, Mak?” tanyaku.

“Bayarnya pertiga bulan, tiga juta, Mbak. Belum termasuk listrik, karena listrik pakai token.”

“Oh gitu.”

“Ini, Mak. Saya bayar dimuka sekarang.” Pak Rega yang sudah berdiri di sebelahku tiba-tiba saja memberikan uang pada Mak Indah.

“Eh, Pak. Maaf, biar saya saja yang bayar. Saya ada uang kok.” Aku mencegahnya untuk membayarkan kost untukku.

“Nggak apa-apa.”

“Tapi nanti saya ganti ya, Pak. Saya janji, potong gaji saja.” Aku merasa tidak enak, karena dia begitu baik.

“Nggak usah dipikirkan. Sekarang kamu tenangkan diri dulu, saya tahu hati dan pikiran kamu sedang kacau saat ini. Istirahat ya.”

“Terima kasih, Pak. Sekali lagi, terima kasih.” 

“Iya, sama-sama. Mak, saya titip, ya.” Pak Rega menitipkanku seperti anaknya sendiri pada Mak Indah. 

Ya Allah, terima kasih, telah Engkau pertemukan aku dengan orang sebaik Pak Rega.

“Siap, Pak Bos. Makasih, Pak Bos.”

“Saya permisi, Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku dan Mak Indah mengantar sampai teras. Pak Rega masuk ke mobilnya, lalu lampu mobil menyala dan perlahan mobilnya keluar halaman.

“Mbak, asli mana?” tanya Mak Indah mengikutiku yang masuk ke kamar.

“Oh, Ibu sih asli Solo, tapi lama tinggal di Jakarta. Jadi ya udah kaya orang Betawi, karena Ibu saya nikah sama orang sini.”

“Waaah orang kita berarti ya. Mbak masih kuliah atau kerja aja?”

“Alhamdulillah saya udah lulus kuliah, kerja sama Pak Rega udah dua tahun di perusahaannya.”

“Oh, pantesan Pak Bos kelihatan akrab. Dia emang baik, Mbak. Dulu dia ngekost di sini waktu kuliah, orang tuanya padahal kaya raya. Tapi dia lebih milih ngekost, lebih bebas. Nggak nyangka aja dia sekarang jadi Bos besar tapi tetap ingat sama saya. Malah kalau ada yang cari kost, pasti dibawa ke sini. Kaya Mbak, siapa namanya tadi?”

“Yura, Mak.”

“Oh iya, Mbak Yura.”

“Wah, berarti memang dari dulu Pak Rega baik dan royal ya, Mak?”

“Iya, Mbak. Cuma ya gitu, Mbak. Namanya cowok kalau sukses, godaannya perempuan.”

“Maksudnya?”

“Pak Bos punya dua istri. Yang satu di Kalimantan, yang satu di Jawa.”

“Apa? Serius, Mak?” tanyaku tak percaya.

Ya, tidak menutup kemungkinan kalau akan banyak wanita yang menaruh harap memiliki suami macam Pak Rega. Sudah kaya, ganteng, baik pula. 

“Eh saya jadi cerita ke mana-mana. Jangan bilang-bilang ya, Mbak.” Mak Indah tampak memerah wajahnya karena malu.

Aku tersenyum kecil, lalu wanita di hadapanku ini pamit undur diri dari kamarku.

Aku pun bergegas untuk membersihkan tempat tidur dan menyapu lantai. Sambil melihat sekeliling yang sudah sepi. Begitu juga Mak Indah yang baru saja menutup pintu rumahnya itu.

Aku pun menutup pintu, lalu membuka koper. Mencari handuk dan pakaian ganti. Astaga, aku lupa mengembalikan jaket Pak Rega. Apa sebaiknya aku cuci dulu saja ya? Tidak enak kalau aku kembalikan dalam keadaan kotor bekas kupakai.

Kuletakkan di gantungan belakang pintu jaket yang baru kulepas, sebelum masuk ke kamar mandi. Besok baru aku cuci ke laundry.

.

Siraman air dingin ke sekujur tubuh membuatku sejenak melepas penat. Rasa sakit yang sejak kemarin menjalar di dalam raga ini berharap terhempas. Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana. 

Perjalanan rumah tanggaku sudah hancur berkeping-keping. Kini, aku sudah menjadi seorang janda. Apa kabar nanti di kantor? Orang-orang pasti akan memandangku dengan tatapan sinis.

Predikat janda adalah bukan keinginanku, tapi jika harus bertahan pun rasanya aku tak sanggup. Tangisku sudah tak mampu lagi keluar, sakit, kecewa, mampu mereda rasa yang pernah ada antara aku dengan Mas Haris.

.

Hampir lima belas menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi. Kemudian masih dengan lilitan handuk di tubuh, aku keluar. Mengeringkan rambut yang basah dengan hairdryer yang kubawa. Sambil berkaca di depan wastafel. 

Seketika perutku berbunyi minta diisi. Aku bahkan lupa pula bertanya bagaimana aku masak? Tidak ada tempat untuk menaruh kompor, dan sepertinya aku besok harus membeli perabotan. Namun, yang utama sepertinya tempat untuk memasak nasi.

Brak!

Aku terperanjat, jantungku rasanya berdegup cepat. Melihat seseorang baru saja masuk mendobrak kamarku, lantas menutupnya dari dalam.

“Heh! Siapa kamu?” tanyaku sambil menutupi tubuhku yang belum berpakaian.

Sial! Kenapa laki-laki ini bisa masuk ke sini? Atau aku lupa mengunci pintunya.

“Mbak, tolongin saya, Mbak,” ucapnya lirih sambil memegangi tangan kirinya.

Duh, aku makin takut saja. Kulihat pria yang masih memakai seragam SMA itu meringis kesakitan memegangi tangannya. 

Astaga, cairan merah mengalir dan menetes di lantai. “Sebentar, saya pakai baju dulu.” Buru-buru aku membuka koper mengambil pakaian dan membawanya ke kamar mandi 

Duh, siapa sih tuh cowok? Atau jangan-jangan penjahat? Dia pura-pura sakit, trus mau mencuri. 

Aku langsung keluar kamar mandi setelah berpakaian lengkap. Dan menghampiri pria itu yang sudah terduduk di lantai, wajahnya berkeringat, dan napasnya tersengal. Gimana ini? Mana sudah jam sebelas malam.

“Mbak,” panggilnya menatapku, dan tiba-tiba tubuhnya jatuh tepat di depanku. Seketika aku mendekapnya.

“Duh, gimana ini? Bangun dong. Kamu kenapa?” 

Gimana kalau besok Mak Indah tahu ada laki-laki masuk ke kamarku. Bisa-bisa aku diusir dari sini, dan membuat Pak Rega malu karena sudah menolongku. Tapi, aku harus menghentikan darahnya dulu

.

Bersambung

Jangan lupa vomennya man teman 😘

Cantik Usai BerceraiWhere stories live. Discover now