Under The Veil Pt.7

Start from the beginning
                                    








"Oh, halo anak-anak."

"Jhonny hyung?!"

"Ei... ei... ei... Johnny not Jhonny." Sambung si pria Chicago sembari menunjuk bordiran nama yang melekat di seragamnya.

"Bagaimana hyung bisa tahu kalau aku salah kata?" bingung Jeno, jujurly gendang telinganya tak menangkap perbedaan bunyi apapun.

"Oh... remedy boy," jangan baca kalimat ini dengan nada biasa.

Mari olah napas sejenak.

Tarik.

Hembuskan.

Tarik.

Hembuskan.

Tarik.

Tahan.

Tahan.

Tahan.

Tolong ditahan, jangan dilepaskan lewat jalur bawah, terutama pintu belakang. Dimohon dengan sangat, terima kasih.

Ulangi.

"Oh... remedy boy." Johnny tengah memposisikan diri sebagai salah seorang aktor opera, simfoni Für Elise sudah di angan, menyajikan getar suara bak cassanova abad pertengahan.

Kalau lagaknya kian berlanjut bagai pangeran yang siap berdansa dengan para gadis, maka Chittaphon Leechaiyapornkul -selaku istri sah Seo Young Ho-sudah siap unjuk gigi pukulan terbaik.

Johnny itu kalau sudah bermain peran, siapa saja bisa dicium cuma-cuma.

Namun sisi baiknya, radius tiga puluh kilometer bukan halangan untuknya mengerti kecemburuan sang pasangan. Ten harus bersyukur karena sang suami diberkahi kepekaan diatas rata-rata. Tidak seperti si 'itu' yang kadar pekanya bahkan mampu membuat orang biasa berubah jadi Mike Tyson merangkap Tarzan dalam sekejab.

Pekanya orang 'itu' benar-benar membuat gemas ingin meninju sekalian memaki. Padahal, kode yang diberikan sudah cukup hardcore.

Genre apalagi yang harus Jisung coba? Pop romantis tidak mempan, terpental jauh ke luar ekspektasi.

Apa mungkin Jisung harus mencoba genre cuma kamu sayangku di dunia ini, cuma kamu cintaku di dunia ini? Tanpa kamu sunyi kurasa dunia ini, tanpa kamu hampa kurasa dunia ini?

Apa mungkin si 'itu' hanya bersandiwara tidak mengerti atau memang sungguh bod--ayo lanjutkan soal Johnny, si 'itu' sepertinya mulai sadar kalau tengah dijadikan objek pergunjingan.

"Tentu aku tahu kalau bahasa Inggrismu patut diragukan," nada si pria Chicago kembali biasa, gagal lah keinginan Ten untuk mencetak rekor baru pukulan Muay Thai. "lagipula, posisi itu penting. Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaan huruf o dan h ketika mereka salah penempatan?" tidak sedramatis tadi, tapi cukup mengusik lubang telinga.

"Harus begitu?" bingung Jeno lagi.

"Cobalah hargai hal-hal sepele, sesuatu yang besar selalu bermuara dari tingkat terkecil," nasihat Johnny. Sekarang ia tengah menghayati bijaknya sang filsuf Yunani, Aristoteles.

"Hanya karena mereka huruf, bukan berarti kau boleh tidak peduli. Coba bayangkan huruf tadi dirimu dengan Renjun atau Jaemin, terima kalau sampai salah posisi?" lanjut pria jangkung itu menggebu.

"Tidak masalah sih." Jeno kurang mengerti konteksnya, tapi ia selalu rela menerima apapun selama hal tersebut berhubungan dengan kedua istrinya, selama mampu membuat keduanya bahagia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Chasing Antagonist | ChenJiWhere stories live. Discover now