Under The Veil Pt.1

21.9K 2.3K 4.3K
                                    

Pukul duabelas tepat.

Harusnya menjadi ajang untuk menyelami pulau mimpi. Namun, tidak untuk orang-orang yang hidup dibalik tabir kelam dunia.

Tengah malam tak ubahnya waktu untuk bermain---menyenangkan diri sendiri.

"Raise." Tiga kepok uang senilai lima puluh juta Won didorong ke tengah table.

"Wah... kau cukup percaya diri malam ini." Komentar sang lawan.

"Kita selalu seri kalau kau lupa."

Seorang pria duduk bersekat meja dengan seorang wanita. Nuansa sengit masih terasa meski alunan live Divertimento, K.334: Menuet by Mozart terus memanjakan telinga.

Mereka lah contoh orang-orang tersebut. Menghamburkan uang di meja judi bukan lah perkara sulit. Segelas wine mahal jenis Chateau Margaux 1787 pun diteguk biasa. Tak ada kesan 'sayang' karena dompet terkuras.

Casino unggulan daerah Gangnam ini memang tak pernah gagal menyedot pundi-pundi uang para pelanggannya.  

"Malam ini akan kubuat kau mengembalikan tujuh ratus juta Won minggu lalu." Si wanita kembali berucap.

Si pria tertawa, wajah lembutnya disiang hari tak berlaku ketika gelap menyapa. "Sayang sekali kau harus kalah lagi."

"Call." Lanjutnya sembari mendorong selembar cek bernilai lima puluh juta Won.

"Royal flush keriting!" Si wanita menghentak. Bibir merah darahnya menyunggingkan senyuman angkuh ketika deretan kartu menunjukkan angka tertinggi.

"Tidak semudah itu, sayang." Si pria jelas tahu siapa pemenangnya. "Royal flush hati." Lanjutnya dengan nada tak kalah angkuh.

"Sial!" si wanita menggebrak meja. Kekalahan ketiga untuknya malam ini. "kau itu sudah kaya, mengalah lah sedikit. "

"Kurasa kau bukan orang yang tepat untuk berkata begitu padaku." Timpal  si pria.

"Berhenti." Si wanita bertitah. Seketika itu pula alunan musik berhenti berdentang. "beri kami privacy."

Seorang pemain biola yang sedari tadi membersamai segera melangkah pergi. Ia menunduk dahulu sebelum hilang tertelan daun pintu.

"Aku tidak mengerti jalan pikiran anak itu." Si pria membuka topik, jemarinya mengetuk permukaan meja.

Si wanita meneguk anggur merahnya sebelum menjawab, "tidak perlu dipahami, ikuti saja alur yang dia buat."

"Kau menikmatinya?"

"Tentu, anggur ini yang terbaik."

Wajah tampan si pria berubah masam. "Kau jelas mengerti maksudku."

Wanita itu tertawa lantang, melupakan tata krama soal wanita anggun yang harus tersenyum ala kadarnya. "Melakoni peran jahat memang selalu terasa menyenangkan."

"Dasar kriminal." Cemooh si pria.

"Hey... hey, tuan baik hati. Jangan lupa kalau kriminal ini telah banyak membantumu."

"Kalau kau berniat menagih pamrih, aku tidak akan berterima kasih."

"Omong-omong, aku harus mengembalikan benda ini padamu."

Dompet kulit bermotif lumba-lumba mendarat ke atas meja. Setelahnya sebuah ponsel hitam metalik ikut menyusul.

Si pria meraihnya lalu terpingkal gemas. "Ceroboh seperti biasa, dasar."

"Kurasa ini lah alasan Arata mendekatinya lagi."

"Kau benar, anak itu lebih memilih jadi gelandangan ketimbang meminta padaku." Ucap si pria lengkap dengan hembusan lelah.

Chasing Antagonist | ChenJiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt