"Eh, tapi lo ngerasa kedatangan Aiden itu aneh, ga?" Tiba-tiba saja, Lintang bertanya dengan wajah penuh minat sambil mengunyah gorengan yang ada di tangannya. "Menurut gue, sih, aneh banget," ujar laki-laki itu dengan mulut penuh.
"Mungkin." Ryana mengangkat bahu. "Emangnya kenapa?"
"Tiga bulan lagi kita mau lulus." Lintang menelan isi mulutnya. Sekarang, suaranya terdengar jauh lebih manusiawi. "Cukup aneh sih menurut gue. Jatuhnya nanggung."
"Selain itu, Bu Beti juga datang," timpal Ryana sembari mendorong mangkok baksonya yang sudah kosong. "Kayaknya waktu gue dulu dia malah gak muncul sama sekali, deh."
Kejadiannya terjadi tepat tahun lalu. Waktu itu Ryana masuk di kelas delapan setelah satu tahun absen dari sekolahnya. Saat pertama kali masuk ke kelas, dia ditemani oleh wali kelas mereka yang bernama Pak Andri.
"Itu juga aneh. Bu Beti itu tipikal yanggakpernah langsung turun tangan langsung kayak gini. Masalahnya,gak lama setelah Bu Beti pergi, malah Pak Andri yang datang buat ngajar. Dia juga gak nyinggung apapun soal telat datang." Lintang meletakkan jari telunjuknya di depan hidung dengan wajah serius. "Rasanya kayak ada sesuatu, tapi gue bingung buat jelasinnya."
"Sudahlah." Ryana bertopang dagu dengan wajah malas. "Satu hal yang jelas, anak itu lagi jadi pusat perhatian sekarang. Kelas kita sampai penuh sama cewek-cewek dan tempat duduk kita diambil."
Dikarenakan hal itu jugalah, Ryana dan Lintang kini berakhir di kantin yang entah bagaimana mendadak sepi.
"Lebih tepatnya, tempat duduk lo." Lintang terkekeh geli. "Ya, mungkin Bu Beti pengen eksis aja. Tapi—"
"Tapi?"
Lintang mendekatkan kepalanya ke arah Ryana. "Biasanya kalau di game yang gue mainin, karakter yang tiba-tiba muncul bisa jadi kawan atau lawan. Tergantung perannya nanti."
"Terus?"
"Artinya, bisa aja api kecil itu jadi cahaya atau kebakaran, Ry." Lintang menarik kepalanya menjauh dan menatap Ryana dengan pandangan lurus. "Kita gak tau aja apa yang mungkin akan terjadi."
"Injek aja biar padam." Ryana menguap. "Sudahlah, bahasan kita makin ngelantur. Lo kebanyakan main game kayaknya."
"Ya, terserah lo—aduh!" Lintang mendadak merintih kesakitan sembari memegang perutnya. Ryana terkejut, tapi dengan cepat dia memahami situasi yang sedang terjadi.
"Lo minum susu lagi?"
Laki-laki yang wajahnya tampak sengsara itu mengangguk pelan.
"Dasar bodoh, sana ke toilet."
"Toiletnya jongkok!" tolak Lintang sambil terus merintih. Dia bahkan menghentakkan kakinya beberapa kali ke lantai.
Ryana mengibaskan tangan dan berkata, "Di UKS gak ada celana ganti yang bersih, loh. Lagian, abis ini yang ngajar guru matematika kesayangan yang galak mampus. Mendingan lo pergi sekarang."
Mendengar perkataan Ryana, Lintang lantas mengumpat. Laki-laki itu kemudian memaksakan dirinya bangkit, lalu terpongoh-pongoh berlari ke toilet. Melihat tingkah temannya itu, Ryana hanya bisa menggeleng kepalanya pasrah. Setelahnya, perempuan itu bangkit berdiri dan berjalan menjauh dari meja tempatnya duduk.
"Sekarang, mari kita pindah tempat."
Kini, langkah Ryana membawanya menuju sudut terpencil kantin. Lebih tepatnya pada sebuah tangga darurat berbahan dasar besi tua yang menimbulkan bunyi berisik jika diinjak.
"Sepi seperti biasanya."
Ryana saat ini bersandar pada pinggir pagar yang entah rapuh atau tidak. Matanya terpejam menikmati angin dan udara ibu kota yang penuh polusi. Selang beberapa waktu, perempuan itu membuka mata. Mendapati dirinya sedang berhadapan dengan banyak genteng rumah.
Sekolah SMP Nusantara memang dikelilingi perumahan. Jadi, pihak sekolah tampak mencoba memberi batas dengan dinding batu. Sayangnya, dinding itu terlalu pendek. Bahkan Ryana dapat dengan mudah memanjatnya.
Tiba-tiba Ryana mendapati ada sesuatu yang aneh. Dia mencoba menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. Terpaut tiga lantai dari tempatnya berada sekarang, ada sesuatu yang tergeletak di antara rerumputan. Warna coklat benda itu terlihat mencolok di hijau rumput. Seakan, meminta untuk di temukan. Didorong rasa penasaran, perempuan itu lalu menjulurkan badan untuk melihat lebih jelas.
"Itu... boneka?"
Ryana nyaris berjalan turun, tapi suara bel tanda istirahat selesai menghentikannya dengan cepat.
"Cih, kenapa timingnya buruk banget, sih?"
Mata Ryana kembali melirik benda yang mirip boneka itu dengan tatapan ragu. Walau begitu, dia memilih untuk meninggalkan tangga darurat dan segera kembali ke kelas.
Sialnya, benda itu sudah hilang saat Ryana kembali ke tangga darurat.
Sekali lagi, tanpa perempuan itu sadari, semuanya telah dimulai.
YOU ARE READING
Elusif : Defined Path
Mystery / ThrillerPertama, seorang murid baru datang ke sekolah Ryana di waktu yang janggal. Kedua, sebuah boneka ditemukan di dekat tangga darurat. Ketiga, surat ancaman dikirimkan kepada Ketua OSIS dengan isi yang tidak wajar. Pertunjukan puncaknya terjadi ketik...
Bab 2 : Api Kecil
Start from the beginning
