Prolog

73 22 5
                                        

"Cepat! Ada yang perlu tindakan sekarang!"

Keadaan saat itu kacau. Para perawat dan dokter berlarian ke sana kemari. Banyak pasien yang berusaha ditangani dalam waktu seminimal mungkin.

Di tengah itu semua, seorang gadis kecil bermata cokelat tiba-tiba membuka matanya. Kepalanya yang berdenyut membuat gadis itu menyerngit. Ingatannya samar-samar kembali pada beberapa waktu yang lalu. Sontak, gadis itu terduduk dengan wajah pucat pasi di atas kasur pasien. Matanya menjelajahi sekeliling. Di bagian kanan dan kirinya ada tirai yang membatasi gadis itu dengan orang di sebelahnya. Sedangkan, di bagian depan yang terbuka, dia hanya bisa melihat orang-orang berpakaian putih berlarian ke sana kemari. Semuanya diiringi dengan erangan kesakitan, teriakan perintah, sampai suara mesin yang memekakkan telinga.

Perlahan, gadis itu menuruni kasur pasien. Tatapannya sempat berhenti di garis hijau yang berada tak jauh dari kasurnya. Setelah itu, dia kembali berjalan keluar dari pembatas tirai yang ada di kanan kirinya.

Ruangan yang ada di hadapan perempuan itu luas. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada meja resepsionis dengan seorang perawat yang tampak sibuk mengurusi berkas-berkas.

Gadis itu menoleh ke sana kemari dengan wajah gusar. Perlahan, dia berjalan menyusuri setiap tirai yang ada—berusaha mencari seseorang.

"Keadaannya gawat! Cepat bawa ke ruang operasi!" Suara seorang laki-laki terdengar. Sontak, hal itu membuat si gadis menoleh ke arah sumber suara—ke salah satu tirai yang berada di dekat sebuah pintu besar.

Dengan cepat, gadis itu berjalan. Tepat saat tirai dibuka oleh seorang perawat perempuan, keadaan yang ada di dalam sana langsung membuat mata si gadis membulat lebar.

Di hadapannya, seorang laki-laki muda tampak terbaring dengan alat bantu napas. Bunyi mesin semakin terdengar jelas dan menyesakkan.

"Tidak, tidak, tidak." Gadis itu menggeleng dengan air mata yang sudah bercucuran. Dengan langkah yang berat, dia berusaha berjalan mendekat.

"Kenapa ada anak kecil di sini?!" Seorang dokter laki-laki mendorong mundur si gadis dan berhasil membuatnya terjatuh tak jauh dari garis berwarna hitam yang ada di lantai.

Kali ini, seorang perawat perempuan yang terlihat berada di pertengahan tiga puluh segera mendekati si gadis. "Biarkan kami mengobati kamu dulu, ya," ujarnya dengan nada bersahabat, meski tidak dipungkiri wajahnya yang lelah terlihat dengan jelas "Nanti kamu bisa ketemu lagi."

Gadis itu menggeleng, dia berusaha melawan sebisa mungkin. Namun, sia-sia. Tenaga perawat perempuan itu jauh lebih kuat.

"Ayo." Tak punya tenaga yang cukup kuat untuk melawan tarikan si perawat, gadis kecil itu akhirnya kalah dan pasrah. Namun, matanya tidak berhenti untuk terus menatap ke arah pintu yang sudah tertutup itu.

---

Kini, gadis itu mengangkat tangan kanannya, memandang perban yang terlilit di sana. Tatapannya kosong, meski begitu dia terlihat was-was.

Setelah ditarik secara paksa menuju salah satu bilik, gadis itu langsung diobati oleh si perawat. Tangan kanannya diperban, sedangkan luka yang berada di kaki dan tangannya dibersihkan. Tanpa terasa sudah beberapa menit berlalu dengan cepat.

"Sudah selesai," ujar si perawat perempuan dengan senyum tipis.

"Di mana?" tanya gadis itu datar. Si perawat yang memahami maksudnya hanya bisa mempertahankan senyum.

"Sedang ditangani oleh dokter kami. Untuk saat ini, kamu jangan ke mana-mana, ya."

Setelahnya, perawat itu melangkah pergi dan menutup tirai.

Gadis itu masih dalam posisinya. Matanya melirik ke sana kemari sambil terus berjaga-jaga. Setelah mendapati situasi aman, dia kembali turun dari kasur pasiennya dan mengintip ke tirai yang ada di sebelahnya. Di sana, dia mendapati seorang laki-laki asing yang terbaring dalam keadaan wajah yang babak belur. Dari suara dengkurannya, laki-laki itu jelas sedang tertidur.

Gadis itu kemudian berjalan melewati bilik laki-laki itu secara perlahan. Setelahnya, dia mengintip keluar dan mendapati kalau perawat yang tadi menjaganya sudah tidak ada. Sedangkan dokter-dokter lain tampak sibuk merawat setiap pasien yang terus berdatangan.

Sembari menarik napas panjang, gadis itu berjalan keluar dan bergegas menuju pintu yang tadi dia sempat lihat. Saat dia berhasil membuka pintu dan keluar dari ruangan itu, gadis itu lagi-lagi terperanjat dengan keberadaan dua orang yang dikenalnya dengan jelas.

"Di mana anak laki-laki kami?" Seorang wanita yang berada tak jauh dari si gadis bertanya dengan nada gusar kepada seorang perawat.

Butuh beberapa detik sebelum si gadis berbicara dengan suara yang parau. "Mama. Papa."

Wanita itu menoleh dan menatap si gadis. Ekspresi wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi datar. Setelah mengucapkan terima kasih kepada si perawat, wanita itu perlahan berjalan mendekat.

Sekarang, sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu.

"Semuanya salahmu," ujar wanita itu dingin.

Si gadis tidak menangis, dia hanya terus saja menunduk sambil terus memegang pipinya. "Maaf."

"Kita harus cari Remi." Kali ini, seorang pria yang berada di akhir umur empat puluhan mendekat. "Ayo."

Tanpa memedulikan si gadis yang masih menunduk, kedua orang itu kemudian berjalan pergi.

Setelah kepergian mereka, gadis itu tidak hanya diam. Dia meneruskan langkahnya sampai ke sebuah persimpangan. Matanya menatap papan petunjuk yang ada di dinding. Perlahan, gadis itu melangkah menuju salah satu koridor yang ditunjuk oleh papan bertuliskan 'Ruang Operasi.'

Gadis itu berhenti di depan sebuah pintu besar dengan satu-satunya lampu yang menyala di sana. Dia terdiam. Mematung dengan kepala yang terus mendongak ke atas. Membiarkan surai hitam yang seperti bulu burung gagak itu menutupi sebagian wajahnya.

Menit-menit selanjutnya berlalu dalam keheningan.

Ada beberapa orang yang sempat menghentikan langkah mereka—sekadar penasaran pada luka-luka yang ada di sekujur tubuh gadis itu. Dilihat dari sisi mana pun, luka-luka itu seharusnya lebih dari cukup untuk membuat anak seumurannya menangis.

Sayangnya, di antara orang yang berhenti, tidak ada yang berniat untuk menghampiri ataupun bertanya. Sama halnya dengan gadis itu. Dia tidak mengatakan apapun, bahkan untuk sekadar meringis.

Tubuh kecil rapuh itu tidak bergeming dari depan pintu. Manik coklat gelap yang seharusnya terlihat indah hanya bisa menatap kosong dan menunggu. Entah menunggu lampu di atas pintu padam atau seseorang yang ada di dalam sana keluar.

"Kenapa kamu bisa di sini?" Seorang perawat perempuan berpakaian serba putih mendadak menghampiri si gadis dengan wajah panik. Tangannya lantas menyentuh lembut bahu gadis itu sambil menatap sekeliling. Namun, dia hanya mendapati wajah bingung dan apatis dari orang-orang yang ada di koridor.

Merasa sia-sia, perawat itu kemudian menyingkirkan helaian rambut yang menutup wajah si gadis dengan lembut.

"Ayo kita kembali. Di mana kamarmu?"

Gerakan tangannya terhenti ketika gadis itu menoleh. Mendadak, si perawat memasang wajah gusar. Fokusnya terpusat pada sorot mata si gadis yang terlihat mati—meskipun jelas sang pemilik mata masih bernapas.

Butuh beberapa waktu sampai si perawat mendapati ada bekas kemerahan yang terlihat baru di pipi bagian kanan gadis itu.

"Ayo." Perawat itu melembutkan suaranya dengan suara bergetar. "Kita obati lukamu dulu, yuk?"

Manik coklat itu kembali menatap pintu.

"...pergi," bisik gadis itu dengan parau, nyaris terdengar seperti memohon. "Harusnya, aku saja yang pergi...." 

Elusif : Defined PathWhere stories live. Discover now