"Menurut lo, anak barunya gimana?"
Ryana yang sedang menikmati baksonya mendadak berhenti. Dia kini menaruh perhatian penuh pada laki-laki bermata coklat muda yang duduk di seberangnya.
"Gimana apanya, Lintang?" Ryana menaikan alis. Namun, mata cokelat tuanya memberikan pandangan mengejek. "Apapun itu, harusnya lo tanya Sera. Soalnya gue yakin dia punya jawaban yang bagus."
Ryana saat ini sedang bersama dengan Lintang. Dia adalah seorang laki-laki berdarah Indonesia-Amerika yang memiliki rambut keriting, mata coklat muda terang, dan kulit kecoklatan Asia. Lintang memiliki fitur wajah yang tegas, tapi entah bagaimana tersamarkan dengan cengiran yang selalu terpampang dan membuatnya terlihat konyol.
Kebetulan orang tua mereka adalah teman baik semasa SMA, jadi dapat dikatakan kalau Ryana dan Lintang sudah saling mengenal sejak lama. Hubungan pertemanan yang sudah terjalin itu membuat mereka saling mengenal keburukan satu sama lain dengan caranya sendiri.
"Temen sebangkunya itu lo, Ry," balas Lintang gemas. "Makanya gue tanya lo. Jadi, menurut lo, anak barunya gimana?"
Ryana merespon pertanyaan ulang itu dengan alis terangkat. "Gue gak tau," jawabnya. "Kenapa?"
"Penasaran aja kenapa rame banget tadi." Lintang terkekeh. "Tapi yang jelas, gue ingat si Aiden ada geser tangan Sera gitu." Kekehannya kemudian berubah menjadi tawa. "Muka Sera kelihatannya asem banget! Mirip sama monster di game yang kerjanya ngajak ribut terus."
Setelah mendengar celotehan tentang monster di game, Ryana memilih untuk kembali melahap baksonya. Dua hal yang dia tahu tentang Lintang. Pertama, laki-laki itu sangat suka bermain game dan bisa duduk berjam-jam di depan komputer. Kedua, Ryana paham betul kalau laki-laki itu hanya sengaja meledeknya sejak tadi.
"Bicara soal kesan, menurut gue Aiden itu biasa aja," sahut Ryana tak lama kemudian. Perempuan itu terdiam sebentar sebelum akhirnya bergumam dengan suara pelan. "Sebenarnya, anak itu kelihatan aneh."
"Apa?" Lintang menyerngit. "Lo ngomong yang jelas, dong!"
"Anak itu biasa aja, Lintang. Telinga dipakai makanya. Lagipula, lo itu duduk di seberang kiri gue. Harusnya lo bisa lihat pake mata sendiri."
"Dasar jahat." Lintang mengerucutkan bibirnya dan membuat ekspresi yang lucu. "Sebenarnya, gue itu penasaran sama ekspresi ambigu lo saat di kelas tadi. Lebih ambigu dari bentuk gorengan ini malah." Dia kemudian mengangkat sebuah gorengan secara asal dari piringnya.
Ryana meletakkan sendoknya kemudian bertopang dagu. "Pertama, itu bentuknya abstrak. Kedua, Isi otak lo itu emang apa?"
Sembari membentuk peace dengan tangan kirinya, Lintang tertawa. "Soalnya, di kelas tadi lo ada geleng-geleng kepala terus ngomong sendiri. Kalau gak salah ingat pas si Aiden itu ngenalin diri. Jadilah, gue berpikir kalau seorang Ryana sedang terpesona." Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya dan membentuk sebuah pelangi imajiner—tetap dalam keadaan satu tangan masih memegang gorengan. Ryana yang melihat tingkah temannya itu mengangkat sudut bibir.
"Menurut gue, nama anak itu lucu."
"Lucu?" Lintang menyerngit.
"Aiden itu artinya Api kecil. Tapi, anak itu kayak batu," jelas Ryana sambil mengingat bagaimana Aiden berinteraksi dengan Sera. "Batu yang kayaknya keras banget."
"Hah?"
"Batu," ulang Ryana sambil membentuk sebuah lingkaran kecil dengan kedua tangannya. "Benda yang keras dan enak di lempar. Pengen coba dilempar pake batu biar tau rasanya?"
Lintang menatap Ryana dengan tatapan ngeri. "Tidak, terima kasih!"
Ryana menyengir dan langsung melahap potongan bakso terakhirnya. "Baiklah kalau begitu."
YOU ARE READING
Elusif : Defined Path
Mystery / ThrillerPertama, seorang murid baru datang ke sekolah Ryana di waktu yang janggal. Kedua, sebuah boneka ditemukan di dekat tangga darurat. Ketiga, surat ancaman dikirimkan kepada Ketua OSIS dengan isi yang tidak wajar. Pertunjukan puncaknya terjadi ketik...
