Janji, Jakarta, Juni (Part 3 - Tamat)

44 1 7
                                    


Laki-laki berkemeja putih masuk dari lantai 1. Kacamatanya berembun. Dia melepas maskernya sebentar saat menyadari bahwa dialah satu-satunya penumpang di dalam lift. Tombol 18 menyala merah.

Lantai 2

Tombol-tombol ganjil mendesah pelan ketika melihat dagu licin sehabis bercukur. Sepertinya ada lekuk kecil di ujung bawah dagu itu. Namun tak satu pun sempat memperhatikan dengan lebih baik karena lelaki tadi kembali memasang maskernya.

Lantai 3

Aroma musk bercampur tembakau menguar semakin kuat di dalam kotak metal itu.

Lantai 5


Perempuan berkaus hitam menunggu dibalik pintu. Titik-titik keringat menghiasi dahi yang dilapisi foundation dengan sempurna. Sejumput kecil anak rambutnya basah. Dia mematung beberapa detik saat menyadari siapa yang berdiri di dalam lift.

Pintu lift mulai bergerak menutup. Si perempuan dan si lelaki meraih tombol untuk menahan pintu pada saat yang nyaris bersamaan. Dengan kikuk, perempuan itu masuk. Si lelaki bergeser ke samping untuk memberi ruang.

Lantai 6

Tidak ada percakapan. Semua tombol, ganjil maupun genap, menahan napas. Mengantisipasi hal yang akan terjadi berikutnya.

Lantai 7
Perempuan itu memeriksa kantong celananya dengan panik.

"Shit!" Makiannya terdengar jelas, meski dia memakai masker dobel.

Lantai 8

Lelaki yang dari tadi diam-diam memperhatikan pantulan si perempuan dari pintu lift, kini terang-terangan menoleh ke perempuan itu. Tentu saja nama lelaki itu bukan shit dan dia tidak sedang merasa dipanggil. Namun sepatah makian itu menciptakan kesempatan.

Lantai 9

Si perempuan menggumamkan maaf lalu menjelaskan dengan sungkan. "Saya mau ambil flash disc yang tertinggal di kamar, tapi sekarang malah kunci kamar saya yang ketinggalan di ruang meeting."

Lantai 10
"Oh, kamarnya lantai berapa?"
"Delapan belas."

Perempuan itu hanya mengucapkan dua kata, tetapi napasnya putus-putus. Apakah dia sudah lelah duluan membayangkan harus bolak-balik naik turun? Atau karena percakapan ini perlahan menuju ke arah tertentu?

Lantai 11

Ibu jari dan telunjuk perempuan itu memainkan jahitan di kantong celana. Pasti rasanya menyiksa sekali. Tidak ada benda yang bisa dipegang untuk mengurangi salah tingkah. Tidak ada pula batang besi yang bisa dijadikan pegangan.

"Kamar nomor berapa, Mba?"
"Mm...1818."

Lantai 12
"Saya juga mau ke lantai 18, tapi tetap engga bisa bantu bukain pintu kamar, ya."

Si perempuan tertawa sopan. "Engga apa-apa, saya balik lagi aja ke ruang meeting."
Tangannya sudah berada beberapa centimeter dari tombol 5 ketika si lelaki berkata,

"Kalau cuma perlu flash disc, saya punya spare di kamar. Tapi kalau yang diperlukan data penting di dalam flash disc, yah...saya engga bisa bantu."

Untuk pertama kalinya perempuan itu memberanikan diri menatap langsung ke mata lawan bicaranya. Tangan kirinya bergerak menyelipkan rambut ke balik daun telinga yang memerah.

Lantai 14
"Ng...ada data penting di sana."

"Oh..."

Lantai 15
"Hari ini meeting sampai jam berapa?"
"Jam 6."
"Meeting saya selesai jam 5. Kalau hari ini engga sibuk, mau ngopi di café bawah after 6?"

Lantai 16

Laki-laki tadi sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari perempuan di hadapannya—bahkan ketika perempuan itu menatap sepatunya sendiri selama dua detik.

Perempuan itu menelan ludah dengan bunyi yang mungkin bisa terdengar dari lift sebelah.

"Boleh."

Terdengar embusan napas lega. Entah milik siapa.

Lantai 17
Bunyi ting samar terdengar dari luar sana. Lift hampir tiba di tujuan.

"Ng...namamu..." kalimat laki-laki itu menggantung, persis seperti tangan kanannya yang nyaris saja dia ulurkan.

Untung dia segera tersadar. Ini Jakarta, Juni 2021. Setiap hari ada lebih dari 3000 orang yang dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

"Meranti."

Lantai 18

Bahkan dari balik masker hitam KN95 yang terpasang rapat, terlihat jelas bahwa lelaki itu sedang tersenyum lebar.

Dia melangkah keluar, lalu berbalik menghadap perempuan itu.

"Namaku Damar. See you at six, Meranti."

Pintu lift tertutup, menyudahi lambaian tangan perempuan yang kini turun menjauhi lantai 18.

Di dalam kotak metal itu, tak hanya tombol 5 yang menyala. Ada sepasang mata yang juga bersinar terang.

"I told you! I told you!" jerit 17.
Tak satu tombol pun bisa menghentikan histerianya. Tak satu pun yang mau.

Bahkan 10 yang biasanya tidak peduli dengan remeh-temeh semacam ini, menyunggingkan senyum tipis.

Di dalam lift, terdengar sebuah lagu diputar:

I gotta feeling

That tonight's gonna be a good night
That tonight's gonna be a good night
That tonight's gonna be a good, good night


Picture credit: suppadeth wongyee/ pixabay.com

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora