Satu,
rumah masa kecilku
tak lagi seperti dulu.
Seolah ia bisa seketika luluh
bila sedikit keras saja angin bertiup.
Dua,
Ibu tidak ada di dalamnya.
Tak lama setelah menelponku, ibu pingsan
Seorang tetangga
membawanya ke rumah sakit langganan.
Tiga,
Bapak sudah tidak tinggal di sana.
Dia kabur begitu saja,
setelah ibu divonis kanker payudara.
Empat,
Itu adalah tingkat stadium kanker
yang didiagnosa oleh dokter.
Itu adalah hitungan bulan
bagi Ibu untuk bertahan.
Lima,
Ibu telah berusaha
menghubungi anak satu-satunya.
Kini aku berusaha
mencapai rumah sakit dengan segera.
Jarak tak seberapa
yang terasa seperti selamanya.
*
Bisik-bisik tetangga.
Bukan, ini bukan judul lagu ternama.
Bukan juga frasa
yang kerap memicu tawa.
Itu adalah kenangan.
Dari masa kecil,
remaja,
bahkan hingga dewasa.
Bisik-bisiknya selalu senada.
Kemampuanku memahami yang berbeda.
Bisik-bisik tetangga.
Lebih berjasa daripada pelajaran Bahasa Indonesia.
Aku belajar sindiran, peribahasa dan metafora.
Bisik-bisik tetangga.
Membuatku menguasai kemampuan adidaya
Tutup mata, tutup telinga.
Bapaknya hobi main perempuan.
Istrinya diam saja tak melawan.
Bapaknya gonta-ganti selingkuhan.
Seumuran anak perawan.
Pada akhirnya
bisik-bisik tetangga
yang membuat diriku berani bertanya.
"Sudah berapa lama rahasia ini Bapak simpan?
Bukankah Ibu pantas menerima sedikit belas kasihan?
Tidakkah Bapak takut ketahuan?"
Bapak tertawa tanpa sungkan.
Tawa yang tak pernah bisa kulupakan.
"Ibumu tidak pernah keberatan.
Nyatanya dia tetap bertahan.
Tahu apa kamu soal pernikahan?"
Perlu waktu lebih lama untuk bicara pada Ibu.
Keberanianku selalu diserakkan oleh ragu.
Satu, dua bulan aku menunggu.
"Ayo kita pergi, Bu.
Kita mulai hidup baru.
Kita pasti bisa, aku tahu itu.
Aku hanya perlu Ibu
untuk bertahan."
Bibir ibu bergetar.
Sebulir air mata menuruni pipinya.
Aku mendengar jawaban lantang,
yang disampaikan dalam keheningan.
Ibu tidak bisa, sekarang aku tahu itu.
Ibu perlu sosok lain
untuk bertahan.
*
Sosok asing di hadapanku diam.
Dia bukan Ibu.
Selang-selang kecil melintang
di atas rangkaian tulang.
Dia jelas bukan Ibu.
Dadanya naik turun.
Mengembuskan napas bantuan
dari mesin di samping ranjang.
Tidak mungkin dia Ibu.
Dapatkah waktu
melakukan semua itu?
Pada Ibu
dan rumah masa kecilku?
Ataukah semua karena lara?
yang berkawan
dengan kesepian?
Ibu punya senyuman
yang tidak dapat dihapus
oleh apa pun.
Rambut panjang melewati pundak.
Tahi lalat di leher sebelah kanan.
Sudut mata dihiasi kerutan.
Rengkuhan yang selalu menjadi
tempat untuk kembali.
Bisik-bisik tetangga.
Lihat, si Anak Durhaka
pulang menemui ibunya.
Suara detak jam.
Deru pendingin ruangan.
Suara keheningan.
Kemudian, bisikan.
"Lin, maaf."
Picture Credit: Kordula Vahle/pixabay
![](https://img.wattpad.com/cover/257745771-288-k559227.jpg)