Mencari Melasti (Bagian 3)

44 3 4
                                    


Satu,

rumah masa kecilku

tak lagi seperti dulu.

Seolah ia bisa seketika luluh

bila sedikit keras saja angin bertiup.


Dua,

Ibu tidak ada di dalamnya.

Tak lama setelah menelponku, ibu pingsan

Seorang tetangga

membawanya ke rumah sakit langganan.


Tiga,

Bapak sudah tidak tinggal di sana.

Dia kabur begitu saja,

setelah ibu divonis kanker payudara.


Empat,

Itu adalah tingkat stadium kanker

yang didiagnosa oleh dokter.

Itu adalah hitungan bulan

bagi Ibu untuk bertahan.


Lima,

Ibu telah berusaha

menghubungi anak satu-satunya.

Kini aku berusaha

mencapai rumah sakit dengan segera.

Jarak tak seberapa

yang terasa seperti selamanya.

*


Bisik-bisik tetangga.

Bukan, ini bukan judul lagu ternama.

Bukan juga frasa

yang kerap memicu tawa.


Itu adalah kenangan.

Dari masa kecil,

remaja,

bahkan hingga dewasa.


Bisik-bisiknya selalu senada.

Kemampuanku memahami yang berbeda.

Bisik-bisik tetangga.

Lebih berjasa daripada pelajaran Bahasa Indonesia.

Aku belajar sindiran, peribahasa dan metafora.

Bisik-bisik tetangga.

Membuatku menguasai kemampuan adidaya

Tutup mata, tutup telinga.


Bapaknya hobi main perempuan.

Istrinya diam saja tak melawan.

Bapaknya gonta-ganti selingkuhan.

Seumuran anak perawan.


Pada akhirnya

bisik-bisik tetangga

yang membuat diriku berani bertanya.


"Sudah berapa lama rahasia ini Bapak simpan?

Bukankah Ibu pantas menerima sedikit belas kasihan?

Tidakkah Bapak takut ketahuan?"


Bapak tertawa tanpa sungkan.

Tawa yang tak pernah bisa kulupakan.

"Ibumu tidak pernah keberatan.

Nyatanya dia tetap bertahan.

Tahu apa kamu soal pernikahan?"


Perlu waktu lebih lama untuk bicara pada Ibu.

Keberanianku selalu diserakkan oleh ragu.

Satu, dua bulan aku menunggu.


"Ayo kita pergi, Bu.

Kita mulai hidup baru.

Kita pasti bisa, aku tahu itu.

Aku hanya perlu Ibu

untuk bertahan."


Bibir ibu bergetar.

Sebulir air mata menuruni pipinya.

Aku mendengar jawaban lantang,

yang disampaikan dalam keheningan.

Ibu tidak bisa, sekarang aku tahu itu.

Ibu perlu sosok lain

untuk bertahan.

*


Sosok asing di hadapanku diam.

Dia bukan Ibu.

Selang-selang kecil melintang

di atas rangkaian tulang.

Dia jelas bukan Ibu.

Dadanya naik turun.

Mengembuskan napas bantuan

dari mesin di samping ranjang.

Tidak mungkin dia Ibu.


Dapatkah waktu

melakukan semua itu?

Pada Ibu

dan rumah masa kecilku?

Ataukah semua karena lara?

yang berkawan

dengan kesepian?


Ibu punya senyuman

yang tidak dapat dihapus

oleh apa pun.

Rambut panjang melewati pundak.

Tahi lalat di leher sebelah kanan.

Sudut mata dihiasi kerutan.

Rengkuhan yang selalu menjadi

tempat untuk kembali.


Bisik-bisik tetangga.

Lihat, si Anak Durhaka

pulang menemui ibunya.


Suara detak jam.

Deru pendingin ruangan.

Suara keheningan.

Kemudian, bisikan.

"Lin, maaf."


Picture Credit: Kordula Vahle/pixabay

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanWhere stories live. Discover now