Menghapus Noda (Bagian 1)

74 4 2
                                    

Aku bisa mengetahui kisah di balik noda.

Jadi terus terang saja aku benci slogan iklan itu. Engga ada noda, ya engga belajar. Kalau bisa, aku ingin menghapus semua noda dari muka bumi ini.

Kamu sering mengeluh pada sikap obsesifku akan kebersihan. Maaf telah membiarkanmu berpikir begitu. Dulu memang aku tidak pernah berencana memberitahumu. Tapi, sekarang akhirnya kamu tahu. Aku bukan bertingkah sok bersih. Bukan pula penderita OCD. Aku hanya sedang melindungi kewarasanku.

Kalau saja kemampuan aneh-aneh semacam ini ditawarkan di awal kehidupan, aku akan menolak atau memilih kemampuan yang lebih menyenangkan. Tahu, kan maksudku? Ada orang yang bisa melihat aroma. Ada yang bisa menghidu emosi. Ada yang bisa membaca memori lewat sentuhan, ada pula yang bisa melihat masa depan. Lalu ada aku, di kasta terendah. Apa sih salahku di kehidupan yang lalu?

Tebakanmu salah.

Aku tidak mengetahui kisah-kisah di balik noda dengan cara yang dramatis. Aku mendapatkannya melalui sebuah sensasi. Jika ada emosi kuat yang terlibat, kadang aku mendapat bonus penglihatan atau suara. Sekelebat dan samar. Bisa saja salah kuartikan. Kemampuanku tidak seperti kunci jawaban.

Misalnya saja noda kecoklatan di sampul buku ini. Sepintas dia terlihat seperti bercak khas buku tua. Kecil dan tersebar. Namun aku merasakan keterkejutan dan rasa bersalah. Jariku juga tersengat sensasi panas ketika menyapu noda itu. Sepertinya seseorang tidak sengaja menyemburkan minuman panas di sebuah buku pinjaman. Hal apa yang membuatnya begitu terkejut? Ah, lupakan. Seharusnya aku belajar mengendalikan kemampuan ini, bukan malah mengasahnya.

Kuletakkan kembali buku itu di atas meja. Pada saat yang sama, kuletakkan harapan untuk memiliki kehidupan normal. Kemampuan ini telah mengendalikan hidupku. Yang terjadi hari ini adalah salah satu contohnya. Aku harus ekstra hati-hati memilih tempat tinggal jika tidak ingin terus-menerus merasakan sensasi tidak menyenangkan.

Aku menoleh pada pria yang menunggu tak sabar di ambang pintu.

"Kapan saya bisa masuk?"

Senyumnya merekah. Tidak perlu kemampuan supernatural untuk tahu uanglah penyebabnya.

"Lusa, Mbak. Saya perlu waktu untuk membersihkan kamar ini dulu."

Aku mengangguk seraya menggumamkan terima kasih sebelum pergi ke luar. Dari jalan, kuperhatikan rumah tiga lantai itu. Sungguh bukan tempat tinggal idaman. Perasaan putus asa dan kelaparan menggerayangi kulitku begitu aku melangkah ke dalam. Tapi, biarlah. Toh aku hanya perlu beberapa detik untuk tiba di kamar sewaanku di lantai tiga. Noda-noda di dalam kamar itu hanyalah noda biasa. Tidak terlalu mengganggu.

Di atas kenyamananku, ada hal yang lebih penting lagi. Keamanan. Kamar di rumah itu adalah tempat tinggal ketigaku dalam kurun waktu enam bulan. Mungkin aku sudah harus pindah lagi sebelum tahun ini berakhir. Asal kamu tahu, melarikan diri dari keluarga bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi dengan uang pas-pasan. Jadi jangan menatapku dengan tatapan menuduh itu. Aku tidak akan berbuat sejauh ini jika kamu berhenti mengejarku.

Memastikan untuk menghapus noda keluarga, itu katamu.

Memperjuangkan hidup, itu kataku.

Bisakah kita setujui saja bahwa kita berbicara dengan bahasa yang berbeda?

Picture credit: Oberholster Venita/ Pixabay

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang