Apartemen 79 Grosvenor Lane (Bagian 6- Tamat)

30 3 5
                                    


Owen tertawa pelan. Dia berdiri dengan susah payah.

"Now my dear, you wouldn't be able to run with that sore foot, would you?"

Seharusnya aku tetap mencoba pergi. Mungkin tidak dengan berlari, tetapi yang jelas tidak hanya diam berdiri. Berlawanan dengan kaki yang menolak bergerak, mataku jelalatan ke sana kemari. Ruangan ini jauh lebih besar dari yang kuduga. Di sisi kiri tangga ada kandang kedua. Seorang gadis bergelung di dalamnya. Dia bergeming dalam hening, jadi aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Wajahnya tak terlihat dari tempatku berdiri. Rambut cokelat ikal lepek menutup rapat identitasnya. Terlepas dari betapa salahnya situasi ini, si gadis terlihat seperti tidur nyenyak.

Pandanganku berhenti pada kaki telanjangnya yang nyaris putih. Seolah merasakan deritanya, kakiku yang terkilir terasa ngilu. Desah kesakitan terdengar dari sisi dinding yang paling jauh dari tangga. Seseorang baru saja siuman.

Laki-laki itu didudukkan di atas kursi. Kedua tangannya yang terikat cable ties lunglai di pangkauan. Lebam menghiasi mata kanan hingga ke pipi bagian atas. Jenggot pendeknya bernoda darah kering yang berasal dari sudut bibir yang sobek. Itu semua tak menghalangiku untuk mengenali siapa dirinya. Tanpa bermaksud mengabaikan lukanya, keadaan Richard tampak paling baik bila dibandingkan dengan dua orang lainnya.

Orang yang sedang kucari ada di sini dalam keadaan hidup. Itu bagus. Namun kami terjebak di ruang bawah tanah bersama seorang tuan rumah gila. Itu tidak bagus. Dua lawan satu. Seharusnya ada harapan. Seorang pria babak belur yang terikat dan seorang perempuan pincang. Siapa yang punya harapan lebih besar? Siapa yang yang akan membantu siapa?

Kalimat-kalimat menjejali di kepalaku tanpa bisa ditahan. Lebih parah dari monolog galau lewat tengah malam. Ini lebih mirip ejekan seseorang yang hanya bisa dihentikan dengan tonjokan.

Bantuan apa yang akan Anda pakai?

Phone a friend?

Fhone a priend?

Fuck the prank?

Kepalaku pusing. Aku menelan ludah, berusaha mendorong kembali ketakutan yang sudah muncul di pangkal tenggorokan.

Owen meletakkan bornya lalu memberiku kode untuk duduk di sebuah kursi dekat Richard. Dia memperhatikan caraku berjalan.

"Poor girl, it must be really hurt."

Owen menyediakan bangku kecil agar aku bisa menaikkan tungkai kiriku. Sopan dan ringan tangan seperti biasa. Namun semua gerakannya membuatku terancam.

"Yang menjadi masalah dengan manusia zaman sekarang adalah, mereka kurang bersyukur. Mereka mudah mengeluh dan cepat mencela. Tapi kamu berbeda, Meira. Karena itu aku menyimpanmu lebih lama."

Suhu serendah ini membuat otakku membeku. Brain freeze. Harus apa? aku harus bagaimana? Pura-pura berani? Bersikap simpati? Memohon keselamatan nyawaku? Badanku mulai menggigil. Entah karena kedinginan atau ketakutan.

"Ayahku mendidik anak-anaknya dengan sangat keras. Tidak ada pemanas di ruangan. Tidak ada kenyamanan modern apapun di rumah. Itu tidak terlalu sulit dijalani. Nyaris semua orang hidup sesusah dan semiskin kami. Pukulannya pun masih bisa kutanggung. Kecuali satu yang nyaris menghancurkan lututku ketika aku terlambat mengambil kayu bakar."

Owen membawa segelas minuman panas ke meja. Aku sempat mual ketika melihat warna merah tua di dalam cangkir. Orang sinting ini menyuguhkan darah untukku! Namun kemudian aku mencium aroma khas yang kukenal. Itu adalah wedang uwuh yang kuberikan untuk Owen ketika pertama kali datang ke apartemen ini. Sebagai ucapan terima kasih karena dia telah membantu mengangkat koperku.

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanWhere stories live. Discover now