Apartemen 79 Grosvenor Lane (Bagian 2)

46 4 3
                                    


Terdengar suara di lorong sewaktu aku memasukkan laptop ke dalam tas. Cepat-cepat kubuka pintu. Oh, cuma gadis Latin yang sesekali datang untuk membersihkan kamar. Dia tersenyum ketika melihatku.

"Hai. Kamu lihat Owen hari ini, nggak?"

"Owen?" Gadis itu mengernyit. "Who is Owen?"

Dengan singkat kujelaskan ciri-ciri si tuan rumah. Rupanya gadis itu tidak pernah sekali pun bertemu dengan Owen.

"Seorang laki-laki akan menelponku tiap kali ada tamu yang check out. Aku masuk ke apartemen dengan kunci yang ada di lock box. Beberapa jam kemudian bayaranku akan ditransfer. Easy money."

Betul katanya. Easy money. Jika tidak punya skill khusus dan tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, aku juga akan dengan senang hati melakukan pekerjaan semacam itu.

Aku mengucapkan terima kasih lalu buru-buru pergi. Sebentar lagi, Luas akan sesak dengan ibu-ibu paruh baya yang menyibukkan diri dengan berbelanja. Aku akan mencari Owen lagi nanti malam.

Di perjalanan turun tangga, aku berpapasan dengan cowok jangkung bermata biru penghuni kamar nomor lima. Jean-Christophe datang dari Perancis. Sama seperti kebanyakan orang asing yang kutemui di Dublin, dia juga datang untuk mencari pekerjaan. Aku menatapnya iba. Kebanyakan dari job seeker itu datang kemari dengan harapan tinggi. Mereka tidak tahu bahwa kesempatan kerja di kota ini sangat langka. Apalagi tempat tinggal yang layak dan murah. Dalam hitungan bulan, uang tak seberapa yang mereka bawa, akan ludes. Dan saat itu, mereka tidak punya pilihan selain pulang kampung dengan kantong kosong. Begitu mereka pergi, perantau lainnya akan datang. Lingkaran yang membuat Dublin selalu kekurangan tempat tinggal. Ironi yang familiar untuk pencari rezeki di Jakarta sepertiku.

Jean menyapa singkat dan menanyakan apakah semalam kamarku terasa dingin. Aku yang memang sudah kesal, bagai diberi angin. Sontak aku mengomel panjang lebar tentang pemanas ruangan yang hanya dinyalakan sebentar di malam hari. Yang mengejutkanku adalah respon Jean. Dia bilang kamarnya terlalu dingin sampai-sampai dia kena radang tenggorokan.

What the heck? Kalau orang Prancis merasa kedinginan berarti apartemen ini memang dingin. Bukan karena aku berasal dari negara tropis dan tidak terbiasa dengan cuaca di Eropa.

Jean bilang, dia sudah menulis ulasan buruk tentang Apartemen ini di situs Air BnB semalam. Aku nyengir mendengar hal itu. Dayu akan suka berteman dengan Jean. Gadis itu berbagi rumah bersama empat orang berondong dari Inggris dan Italia. Mereka jorok dan sembrono seperti kebanyakan laki-laki umur dua puluhan. Naasnya, nyonya rumah Dayu terlalu pelit untuk menyewa pembantu setiap hari. Dayu langsung menulis ulasan buruk di malam pertamanya. Dia juga mendamprat keempat penyewa lain habis-habisan. Dia minggat dari rumah sewaan itu pada malam ketiga. Merelakan biaya sebulan yang sudah dibayarnya.

Aku sendiri lebih suka bermain aman. Lebih baik aku mengeluh langsung pada pemilik rumah. Jika cara itu masih tidak berhasil juga, ya sudah. Aku akan tetap menuliskan ulasan buruk, tapi nanti. Kalau aku sudah angkat kaki dari sini.

*

Ini adalah hari kedua aku berusaha mencari Owen. Di mana sih dia sebenarnya? Kurasa dia membaca pesanku karena shower di kamar mandiku sudah kembali berfungsi dengan normal. Semalam kuperhatikan ada lem transparan di tutup shower. Mungkin dia masuk ke kamarku dengan kunci cadangan. Apa dia sengaja memperbaikinya di saat aku sedang bekerja? Dengan begitu dia tidak harus bertemu denganku. Memangnya aku seseram apa sampai dia harus menghindariku? Toh aku hanya akan menyampaikan keluhan secara baik-baik jika bertemu dengannya.

Aku memeriksa jam di handphoneku. Pukul enam tiga puluh malam. Masih ada waktu untuk mencuci baju. Kuraup tumpukan baju kotor di atas kasur dan membawanya di pinggul kiri. Kemudian kuselipkan handphone di saku belakang celana. Mesin cuci ada di landasan tangga tepat di atas basement. Sungguh bukan tempat yang menyenangkan. Sialnya, aku bukan superhero. Aku butuh waktu lebih dari sepuluh detik untuk turun ke lantai bawah, memasukkan baju, memenceti tombol-tombol mesin, lalu kembali ke kamar. Tebak sendiri apa yang akan terjadi jika aku lupa membawa handphone.

Aku meraba saklar lampu tepat di luar pintu, dalam kegelapan. Lampu lorong menyala bersamaan dengan terdengarnya makian yang lirih. Laki-laki berjenggot berdiri di anak tangga teratas sambil berjuang mengeluarkan handphone dari tasnya.

"That's better."

Gigi gingsul menyembul ketika dia tersenyum. Aku mengerjap dalam cahaya remang-remang. Bukan Owen. Itu Collin Farrel. Setidaknya, dopplegangger. Dia tengah mengaduk tas untuk mencari kunci, ketika lampu mati otomatis.

Spontan kutekan saklar lampu lagi. Kali ini kalimat Dayu melintas di kepalaku dengan nyala terang selama sekian detik. Seperti informasi stasiun berikutnya di dalam MRT. One Irish guy won't hurt you that much. Collin Farrel mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke kamar nomor enam.

Aku mematung, lupa membalas ucapan terima kasihnya. Ketika lampu mati untuk kedua kalinya, pakaian kotorku terjatuh di lantai begitu saja.

(Bersambung)

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanWhere stories live. Discover now