Rumah Sakit

29 7 0
                                    

Ata sudah dipindahkan ke ruang VVIP sesuai dengan permintaan Deo. Kini laki-laki itu setia menunggu gadis itu hingga siuman. Mamanya menunggu di depan, tak ingin mengganggu muda-mudi tersebut.

Tangan Ata bergerak pelan. Matanya mengontrol cahaya yang membuatnya merasa silau. "Eungh..."

Mendengar suara itu, Deo yang duduk disamping Ata sontak berdiri. "Zhia? Lo–udah siuman? Lo minum? Makan? Atau gue panggilin Dokter?"

Ata mematung. Dia syok mendengar suara Deo dan juga, kenapa dia bisa berada disini? Terakhir kali Ata ingat bahwa dirinya berada di tepi danau. Itupun sebelum dirinya melamun.

"Zhi–lo, okey?" Tanya Deo, pelan.

"Lo, ngapain disini, De?" kini Ata yang bertanya.

Deo menarik kursi yang ada disamping hospital bednya Ata lalu duduk dan mengusap-usap kepala Ata dengan lembut.

"Lo tadi jatuh ke danau. Untung gue bisa bawa lo ke daratan. Dan yah, gue langsung bawa lo ke rumah sakit," ujar Deo. Dia masih terus saja menatap wajah cantik Ata.

"Kenapa lo gak biarin gue mati di danau aja? Kenapa, De?" Tanya Ata lirih.

"Seharusnya lo biarin aja gue tenggelam di situ. Gue muak. Gue capek. Semua yang ada terjadi bikin gue stres. Mulai dari keluarga gue yang berantakan, bully yang gue dapat, dan sekarang–kisah cinta gue juga sama. Lo sama aja kayak mereka-mereka yang menyakiti gue, De. Dan lo lebih parah. Cara main geng lo itu hebat. Gue salut." Ata bertepuk tangan pelan. Bersamaan dengan itu tawa Ata pecah. Itu terdengar horor di telinga Deo.

"Zhi...." Laki-laki itu tidak tau harus bagaimana. Tangannya berusaha meraih Ata.

Tawa gadis itu berubah. Mata ya menatap Deo tajam. Mulutnya juga tertutup rapat. Melihat itu, pergerakan Deo sontak terhenti.

Beberapa detik kemudian, Ata berteriak. "ARRRGGGHHH...." Ata menjambak rambutnya sendiri dengan sangat kuat.

"Zhia!" Deo kalut.

"Lo gila, De. Orangtua gue gila. Teman-teman lo juga gila. Anak-anak disekolah juga gak kalah gila nya sama lo semua. ARRRGGGHHH. GUE BENCI HIDUP! SEHARUSNYA LO BIARIN GUE TENGGELAM DEO! JANGAN TOLONGIN GUE! GUE MAU HIDUP TENANG SEKALI AJA!"

"Zhi, lo tenang ya. Gue–gue takut lihat lo kayak gini." Ujarnya pelan.

"Kenapa? Kenapa lo takut?! Harusnya lo senang, gue juga ikutan gila! Hahaha Ata gila, Ata gila."

Tak kuat membiarkan Ata menyakiti dirinya sendiri, Deo segera memencet tombol darurat. Kemudian dokter masuk lalu menyuntikkan obat penenang kepada Ata.

"Biarkan dia beristirahat," ujar dokter tersebut. Deo mengangguk pasrah. Dia mendekat ke arah Ata, mencium jari tengah dan telunjuknya secara bersamaan. Lalu di tempelkan kepada pipi Ata.

"Lekas sembuh tuan putriku."

***

"Gimana nih? Kembaran lo juga belum ketemu sampai sekarang." Ujar Dimas. Sekarang ini mereka berkumpul di salah satu cafe langganan mereka. "Apa kita telepon polisi aja?"

Gita memukul pelan kepala Dimas. "Lo gila." Desisnya. "Ini bukan tentang anak hilang."

Laki-laki itu mengelus kasar kepalanya yang dipukul gadis itu barusan. "Tapi sekarang Deo udah termasuk hilang. Mana gak bisa dihubungi segala lagi. Menyusahkan."

"Tadi gue dengar dari anak-anak, tuh anak udik juga gak sekolah." Suara Gebby mengalihkan pandangan mereka

"Really?! Apa jangan-jangan mereka lagi sama ya? Gimana, Ge?" Tanya Geo seolah-olah paham situasi saat ini.

ATAZHIAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant