Pertanyaan Marco barusan, mengenai Airlangga yang bisa dengan tepat waktu menyelamatkannya, sangatlah masuk akal. Saking masuk akalnya, pertanyaan itu juga kini berputar-putar dalam pikirannya. Benar, bagaimana bisa Airlangga ada di sana dan menyelamatkannya pada waktu yang tepat? Bukannya Eugene melihat jelas pria itu berjalan pergi?

Kadang kebetulan yang terjadi memang sangat susah untuk dijelaskan dan dimengerti oleh orang lain, cenderung terdengar dan terasa seperti tipuan semata. Bahkan untuk Eugene yang mengalaminya secara langsung.

***

Anak di hadapannya ini masih memberi efek yang sama pada Eugene selama tiga jam lamanya, mengintimidasi. Eugene menyesali keputusannya menawarkan Marco untuk menunggu Airlangga di kamar hotelnya karena takut jika anak laki-laki itu sendirian di tempat asing.

Meskipun sudah dimasakkan sarapan, ditambah lagi saat ini Eugene tengah memasakkan makan siang, sepertinya hal itu tidak memberi efek yang menguntungkan. Marco memainkan ponselnya dengan tubuh tegak dan sesekali melirik ke arah Eugene. Mungkin sebaiknya Eugene menanyakan langsung pada Marco, "What do you want to know? Why are you keep looking at me like that?"

Eugene kira, ketika dihadapkan pada pertanyaan terbuka seperti itu Marco akan membantah dengan jawaban yang tidak seperti biasa orang-orang jawab. Tapi tentu saja, sedari awal perkenalan mereka, Marco adalah pengecualian.

Marco meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian duduk dengan tangan dilipat di depan dada. Ia menatap Eugene dengan mata memicing tajam. "Sedang mengamati apa yang menarik dari Anda sehingga ayah saya, bisa bertingkah seperti ini."

"Apa yang salah dengan saya?"

"Tidak, hanya saja, ketika seseorang bertindak cukup drastis dari kegiatan biasanya, hanya ada dua kemungkinan," kata Marco sambil menunjuk angka dua dengan jari tangannya.

Kening Eugene berkerut. Ia mengecilkan api kompor hotel yang tengah digunakannya untuk memasak nasi goreng. Ia penasaran dengan pola pikir Marco yang sedikit menggelitik otaknya. "Apa itu?"

"Antara dia sudah mau mati," Marco mengerutkan keningnya saat kalimat itu keluar dari bibirnya sendiri, kemudian menggelengkan kepalanya seperti kurang suka dengan dugaannya sendiri, "atau sedang jatuh cinta."

Jika Eugene sedang minum atau makan sesuatu saat ini, mungkin dirinya sudah tersedak.

Marco langsung menatap Eugene dengan lebih tajam lagi. "Sepertinya kemungkinan kedua yang lebih tepat."

Eugene langsung berpura-pura sibuk dengan urusannya. Ia tidak menjawab ataupun memberi respons pada perkataan Marco hingga piring terakhir dihidangkan Eugene di atas meja makan. Baru saja Eugene hendak mendudukkan diri di seberang Marco, bel kamar hotelnya berbunyi. Kenapa hari ini bel kamarnya sering sekali berbunyi? Eugene langsung berjalan cepat menuju pintu, membiarkan Marco duduk seorang diri. Ia membiarkan anak remaja itu mengamati gerak-geriknya dari meja makan. Kali ini, setelah belajar dari pengalaman, Eugene memeriksa terlebih dahulu siapa yang datang. Ia menemukan Airlangga berdiri di depan pintu kamar hotelnya, sudah dengan pakaian berbeda yang jauh lebih santai dibandingkan dengan tadi malam.

"Hai," sapa Eugene setelah pintu terbuka. Gerakannya terlalu lambat saat hendak menghentikan gerakan kecil nan romantis Airlangga yang langsung mengecup puncak kepalanya, kemudian mengacak rambutnya asal.

"Bagaimana kabarmu? Sudah baikan?" tanya Airlangga sambil menatap Eugene pada kedua bola matanya. Binar dari kedua bola mata itu tidak disembunyikan sama sekali.

Astaga. Andaikan Marco tidak ada di ruang makan, ia akan menikmati momen romantis ini dengan maksimal.

"Marco is here," kata Eugene cepat. Ia mendorong Airlangga pelan sambil menggeser tubuhnya agar Airlangga dapat melihat sosok Marco yang ditebak Eugene sedang memberikan tatapan tajam dan penuh selidik kepada mereka berdua.

"Hey, Boy!" panggil Airlangga santai. Ia menepuk pundak Marco yang masih saja melipat kedua tangan di depan dada, menunjukkan ketidaksenangannya. "Kenapa kamu ada di sini?"

Marco menghela napas. Ia menatap ayahnya dengan sebelah alis dinaikkan, "Seharusnya Marco yang bertanya seperti itu. Kenapa Daddy bisa ada di sini, bahkan melupakan anak semata wayangnya. Ditambah lagi dengan membiarkan anak semata wayangnya tidur sendirian di kota asing." Setelah kata terakhir itu meluncur dari bibirnya, Marco menaruh sendok dan garpu dari tangannya ke atas meja. Gantian Airlangga yang diberi tatapan tajam oleh Marco.

"Daddy tahu kamu punya rasa penasaranmu sendiri, jadi Daddy biarkan kamu berkeliaran kemarin. Daddy tahu kamu pergi menemui Uncle George," jawab Airlangga dengan santai. Ia duduk di hadapan Marco, mengambil tempat duduk Eugene tadi. Airlangga menepuk punggung tangan Marco dengan lembut. "Daddy tahu, selama ini kamu berhubungan dengan Uncle George di belakang Daddy."

Marco tertegun, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Pantas saja Airlangga memperbolehkannya ikut ke Indonesia, tempat yang Marco tahu kurang nyaman dan kurang menyenangkan bagi ayahnya itu. "Daddy tahu?"

Pertanyaan Marco dijawab dengan anggukan kepala oleh Airlangga, sehingga anak remaja itu kembali menanyakan hal yang mengganggu pikirannya, "Kenapa Daddy tidak bertanya apa pun atau melarang?"

"Sebenarnya Daddy ingin melarang," jawab Airlangga masih dengan nada yang berusaha dibuatnya agar tetap terdengar santai.

Lagi-lagi Marco melontarkan pertanyaan, "Tapi?"

Eugene yang ada di antara ayah dan anak itu hanya bisa diam, pura-pura tidak tertarik dengan urusan keluarga orang lain. Aduh, kenapa dirinya bisa terjebak saat ini? Nasi gorengnya pasti sudah mulai dingin. Eugene yakin, nasi gorengnya nanti tidak akan terasa seenak saat masih panas.

"Karena Daddy belum pernah memberitahumu alasan yang jelas, maka Daddy belum berhak melarangmu. Apalagi, selama ini, kamu baru berhubungan dengan Uncle George. Daddy rasa itu tidak masalah," jawab Airlangga. Iya, dirinya sedikit tenang membiarkan Marco pergi dengan George karena merasa yakin jika adik iparnya itu tidak akan mengatakan hal buruk seperti yang pernah didengarnya dari anggota keluarga yang lain. Airlangga juga selama sebelas tahun terakhir ini selalu mengabari George mengenai tumbuh kembang keponakan satu-satunya itu.

Namun, entah mengapa, kini Airlangga merasa tidak tenang. Ia cemas. Ketika Marco sudah tahu mengenai alasan Airlangga pergi meninggalkan seluruh keluarga besarnya di Indonesia dan pindah ke New York, serta alasan ibunya meninggal, apakah Marco masih akan tetap ceria dan berusaha mencari tahu mengenai keluarganya di Indonesia?

"Sebenarnya, Uncle George menelepon lagi tadi pagi," kata Marco dengan suara penuh keraguan. Ia menatap Airlangga sambil memainkan jari tangannya. "Kata Uncle, keluarga Mommy dan Daddy sudah tahu jika kita ada di Indonesia, dan mereka mau bertemu. Uncle juga bilang kalau Granny sedang sakit parah."

Air ludah Airlangga mendadak sulit ditelan. Apa setelah dua belas tahun berlalu, kepulangannya kali ini ke Indonesia berakhir digunakan untuk menyelesaikan masalah yang belum selesai? Pertanyaan yang paling penting adalah, apakah dirinya siap untuk kembali membawa ingatan mengenai Stephanie, wanita yang paling dicintainya, naik ke permukaan setelah dikuburnya di dasar hati paling dalam?

icon lock

Show your support for LYAN🌙, and continue reading this story

by LYAN🌙
@lyanchan
Malam tahun baru Eugene terasa sempurna. Kesempatan menjalin hubungan...
Unlock a new story part or the entire story. Either way, your Coins help writers earn money for the stories you love.

This story has 30 remaining parts

See how Coins support your favorite writers like @lyanchan.
A Night Before You [END]Where stories live. Discover now