14 | jadi, intinya mah ...

Start from the beginning
                                    

Karena dia juga tidak memberi tahu kalau dia ke Magelang, jadilah malah tidak bisa bertemu dengan sang Pakde.

"Tadi ketemu Iis juga, Mbak? Sehat-sehat, kan? Jadi, dua minggu lagi kita nengokin cucu pertama?" Si bulik termuda tadi ikut bertanya setelah mengambil kursi di seberang Bude Hari.

"Ketemu, dong. Insya Allah jadi. Moga-moga lancar." Bude Hari lalu menoleh ke Mail. "Dua minggu lagi kita ketemu lagi di Jakarta ya, Mas. Mbak Elok pengen nyobain kopinya Nowness, kali aja bisa kerjasama."

"Oh, jadi ini Mbak Elok yang juragan apartemen, ya?" Mail tersenyum simpul karena punya ingatan bagus bahwa ada anggota keluarga Gusti yang saingan dengan Bimo, yang propertinya ada di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke.

Yang namanya Mbak Elok mesam-mesem. "Kos-kosan, Mas, bukan apartemen. Rencananya di beberapa tempat yang rame mau dibikinin co-working space. Jadi siapa tau jodoh sama Nowness."

Alhamdulillah, mereka semua bukan tipe yang anti makan sambil ngobrolin kerjaan, biarpun ngobrolnya yang ringan-ringan aja.

Overall, selama makan malam, Mail nggak merasa terintimidasi.

~

"Jadi ...?" Bude Hari menyesap teh hangatnya ketika duduk di ruang tamu berdua dengan Mail tidak lama setelah makan. "Ke Magelang bukan buat liburan, tapi sengaja mau ketemu Bude-Pakde? Tapi Pakde paling besok malem baru balik. Diwakilkan Bude aja, boleh, ya?"

Mail mengangguk, baru terasa ketegangan yang sudah ditunda-tunda sejak tadi sore.

"Bude jadi nervous. Serius banget kayaknya. Is it bad news or good news?"

Tenggorokan Mail tercekat. Kalau bisa ngaca, mungkin mukanya sekarang sudah desperate. "Saya nggak percaya diri mau bilang good news, Bude."

"Oke, oke." Bude Hari menoleh ke salah satu keponakannya yang baru pulang les, yang duduk tidak jauh dari mereka berdua, sedang main HP. "Nduk, privacy, please."

Si keponakan mengacungkan jempol dan bangkit berdiri, pindah ke ruang makan.

Begitu tinggal berdua saja, Bude bersuara lagi, "Jadi ini tentang Mas Ismail ya, bukan tentang Mas Gusti? Ndak apa-apa. Santai saja ngomong sama Bude."

"Well ...." Gimana bisa santai?? Yang ada habis ini Bude melempar cangkir ke muka Mail. Mail menghela napas panjang, nggak mungkin menunda-nunda lagi. "Semoga ini nggak bikin Bude terkejut."

Bude Hari mengangguk. "Say it. Bude udah siap."

"Jadi saya sebenernya ..." Mail meneguk ludah, berusaha tidak mangkir dari tatapan tajam Bude di hadapannya. "... tengah menjalin hubungan serius, Bude."

Satu alis Bude Hati terangkat.

Setelah satu tarikan napas, Mail melanjutkan. "... dengan Trinda."

Hening.

Bude Hari terdiam. Mencerna. Memutar kembali kaset memori yang berisi momen-momen dirinya dengan sahabat anak sulungnya ini, serta kaset lain yang berisi tentang anak bungsunya.

Unbelievable. How the hell did it happen? Mungkin begitu ekspresi Bude Hari jika diterjemahkan. Karena selama sepuluh tahun mengenal pemuda di depannya ini, tidak dia ketahui ada persinggungan antara ia dengan anak bungsunya. Trinda punya lingkaran pergaulan sendiri, sama sekali tidak tampak tertarik mengenal teman-teman masnya. Begitu juga sebaliknya. Bagi lingkaran pergaulan Gusti, nggak ada alasan untuk menarik Trinda yang sepuluh tahun lebih muda ke lingkaran mereka.

Karena Bude Hari tidak kunjung memberi tanggapan, pelan-pelan Mail melanjutkan. "Tujuan saya datang ke sini untuk memohon restu Bude-Pakde."

Muka sang Bude memucat.

Mail paham. Di antara semua kemungkinan, berita yang dia sampaikan barusan jelas tidak pernah terlintas di benak wanita ini.

Trinda is just a kid. Meanwhile, he is a grown ass man who—should—ready to get married. There's no way the names of the two of them juxtaposed in Bude Hari's mind.

Kewalahan menerima informasi yang disampaikan Mail, Bude hari mengangkat kedua tangannya ke udara sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Pause dulu ya, Mas. Kasih waktu Bude untuk napas dulu. Besok pagi kita ngobrol lagi. Bisa bangun pagi, kan? Habis subuhan kita ngobrol sambil jogging. Oke?"

Mail mengangguk, merasa ada secuil bagian dari hatinya yang patah mendapati tanggapan pertama Bude yang jauh dari positif—meski sudah bisa dia tebak sebelumnya.

"Oke." Bude Hari ikut mengangguk, kemudian bangkit berdiri. "Bude istirahat dulu. Kamu juga. Kalau Bagas ngajakin ngobrol sampe malem, nggak usah diladeni. Selamat malam."

~

Diputus-putus mulu Thoor chapternya, heran deh! Jadi gak kelar-kelar scene Mail-Bude!

Ya Maap. Ini w ngerjain di starbak terus kebelet pipis, mo cepet2 pulang. Hehehe.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now